Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kata korupsi bahkan rakyat jelata yang tinggal dipelosok desa pun mengenal korupsi. Gerakan anti korupsi digelar disetiap tempat, gerakan pemberatasan KKN digulirkan dan jihad melawan kriminal birokrasi
ditegakkan dengan harapan prilaku insan birokrasi dan sistem
pemerintahan berubah menjadi lebih baik. Hampir seluruh lapisan
masyarakat Indonesia berkeinginan negerinya yang tercinta bebas dari
penyakit korupsi
serta sistem birokrasi yang ruwet sehingga tercipta sistem sosial,
politik dan ekonomi yang adil, bermoral dan agamis. Namun harapan indah
itu saat ini seakan hanya ada dalam angan-angan bahkan mungkin sebuah
mimpi karena betapa banyak usaha yang telah dilakukan namun penyakit ini
seakan sudah mengakar kuat kuat sehingga tidak bergeming. Bahkan
berbagai bencana yang mendera negeri kita belum juga mampu merubah
perilaku para koruptor dan para birokrat.
Berbagai kejahatan berlindung di bawah payung hukum positif dan tanpa
diketahui masyarakat atau bahkan aparat penegak hukum terlibat
didalamnya. Apabila ada yang terbongkar, itu hanya kasus-kasus tertentu
saja dan itupun terkadang tidak ada tindak lanjutnya hingga masyarakat
lupa dan kasus dianggap selesai.
Ajaran agama dan nilai moral seolah tidak lagi mempan membendung
kejahatan korupsi dan menghindarkan umat manusia dari kecenderungan
berkhianat, menyimpang dan berdusta. Nasihat agama sepertinya tak
berbekas, para tokoh agama kehilangan wibawa, moral dan ritual ibadah
mandul tidak memberi pengaruh pada prilaku keseharian. Seharusnya setiap
ibadah mampu merubah prilaku lebih bagus dan mental lebih baik
sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala tentang shalat,
Sesungguhnya shalat itu mampu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. (Qs al-Ankabût/29:45)
Benar apa yang dikatakan al-Hasan al-Bashri rahimahullah
bahwa barangsiapa yang shalatnya tidak bisa mencegahnya dari perbuatan
keji dan munkar maka shalatnya tidak bisa disebut shalat bahkan akan
menjadi bumerang bagi pelakunya.[1]
Beribu-ribu umat Islam baik pegawai negeri maupun karyawan swasta
menunaikan shalat bahkan hampir seluruh masjid perkantoran dan
perindustrian tiap waktu shalat tidak pernah sepi dari jamaah, acara
kerohanian yang berupa kajian agama, dzikir berjamaah, istighasah, renungan dan mabit
mereka lakukan, namun cacatan kejahatan agama, moral dan kemanusiaan
tidak berkurang. Aksi kriminalisasi sosial dan agama makin marak, bahkan
korupsi, suap, sogok, pungli dan money politics, termasuk penyelundupan, illegal logging (pembalakan liar), illegal fishing (pencurian ikan) dan illegal mining (penambangan liar) makin subur.
Kenapa korupsi dan budaya suap menjadi tradisi yang susah diberantas ?
Sebab utama adalah keimanan yang lemah, kesempatan terbuka lebar,
lingkungan yang mendukung dan sanksi hukum yang tidak tegas terhadap
pelaku korupsi bahkan sebagian pelakunya ada yang tidak tersentuh hukum
sama sekali.
SEBAB-SEBAB KORUPSI
Mental korupsi melekat pada diri sebagian anak
bangsa. Limbah suap mencemari setiap lorong kehidupan. Budaya KKN
menghiasi hampir seluruh lapisan masyarakat baik kelas bawah, menengah
maupun atas. Tidak bisa dipungkiri, para koruptor yang bekerja di
instansi pemerintah maupun swasta adalah manusia biasa, kadang imannya
menguat, kadang melemah. Ketika iman sedang menguat, keinginan untuk
berbuat baik juga menguat. Namun ketika iman melemah, kecenderungan
berbuat jahatpun menguat termasuk korupsi dan maksiat lainnya. Ada
beberapa faktor yang secara signifikan mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan korupsi dan menistakan harga diri dengan menerima
suap dan uang pelicin dalam menjalankan tugas dan amanah pekerjaannya,
diantaranya :
- Lemahnya semangat keagamaan dan menurunnya indikasi keimanan.
- Mengikuti keinginan syahwat dan menuruti kelezatan dunia yang semu yang tak pernah kenal batas.
- Pembelaan dan nepotisme terhadap keluarga secara berlebihan sehingga mematikan sikap obyektif, rasa keadilan, prilaku amanah dan profisionalime.
- Memilih teman-teman buruk, pembisik-pembisik jahat, patner-patner culas dan kroni-kroni yang korup sehingga peluang korupsi terbuka lebar.
- Menempatkan para pejabat atau petugas yang kurang ikhlas dalam pengabdian dan kurang bertanggung jawab dalam mengemban tugas sehingga mereka banyak melakukan aji mumpung yaitu mumpung jadi pejabat.
- Terpengaruh dengan gaya hidup yang glamor dan serba hedonis.
- Terpengaruh dengan pemikiran dan prinsip-prinsip hidup yang meyimpang dan matrialistis.
- Terpedaya dengan kehebatan materi dan kenikmatan harta sesaat sehingga silau dengan fatamorgama dunia. Bahkan muncul anggapan bahwa harta benda adalah segala-galanya.
- Diktator dalam mengendalikan kepemimpinan membuat para pemimpin dan pejabat gampang korupsi.
- Tekanan pihak asing yang senantiasa mengatur kebijakan politik dan ekonomi suatu negara akan membuat para pengelola negara gampang terjebur dalam tindak korupsi.
Barangsiapa yang ingin memerangi korupsi hendaknya menganalisa
sebab-sebab diatas secara cermat dan mencari solusi serta penangkalnya
secara bijaksana dan penuh dengan ketegasan dalam memberi sanksi. Namun
sehebat apapun aturan hukum yang ingin diterapkan maka Islam merupakan
solusi utama untuk menghilangkan tradisi korupsi karena dengan keimanan
kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala secara benar yang disertai
dengan keimanan kepada nama-nama dan sifat-sfat-Nya secara aplikatif
lalu ditambah beriman kepada malaikat yang senantiasa mencatat semua
ucapan dan perbuatan manusia. Jika ini sudah benar, maka akan muncul murâqabah, control penuh dan interopeksi sempurna terhadap seluruh tindakan yang diperbuat seorang hamba.
MENGUBUR TRADISI KORUPSI DAN BUDAYA SUAP
Mengakarnya budaya korupsi, suap, sogok, money politics,
pungli dan kelompok turunannya di tubuh birokrasi setiap lembaga, baik
negeri maupun swasta merupakan fakta dan tantangan paling fenomenal bagi
agama-agama samawi, terutama agama Islam, yang secara tegas
mengutuknya. Sebagaimana yang telah ditegaskan Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu dengan perkataan beliau,
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الرَاشِي وَالمُرْتَشِيْ
Rasulullah mengutuk orang yang menyuap dan orang yang disuap.[2]
Dalam bahasa agama, korupsi, suap, sogok, uang pelicin, money politics, pungli dan kelompok turunannya digolongkan sebagai risywah, yakni tindakan
atau perbuatan seseorang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu
kepada orang lain dengan tujuan mempengaruhi keputusan pihak penerima
agar keputusannya menguntungkan pihak pemberi meski dengan melawan
hukum.
Umumnya, risywah terjadi melalui kesepakatan antara dua pihak yaitu pemberi suap (râsyi) dan penerimanya (murtasyii). Tapi, kadang ia juga melibatkan pihak ketiga sebagai perantara atau dikenal sekarang dengan sebutan markus (makelar kasus).
Praktik risywah semula berakar dan tumbuh hanya di
ruang pengadilan, kemudian berkembang hampir ke semua lini kehidupan
masyarakat, bahkan untuk suatu yang tidak logis. Risywah tidak
hanya subur di negara kita, di negara lain, termasuk di negara maju
sekalipun juga berkembang. Padahal, Islam menegaskan, risywah merupakan tindakan yang sangat tercela, dibenci agama, dan dilaknat Allâh dan Rasul-Nya.
Risywah terus terjadi tanpa mengenal henti. Ia mengakar,
menjamur, bahkan selalu menabur benih baru korupsi dan semakin memberi
impresi tentang parahnya fenomena risywah di negara kita, seakan mementahkan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, suap, sogok dan sebangsanya.
Oleh karena itu, memelihara dan menjalankan amanah pada koridor yang
benar suatu keharusan. Sebab, amanah merupakan inti dari tugas mulia
yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-Nya di dunia. Menghamba secara tulus kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berarti menjalankan amanah. Ulama dan ahli agama menjalankan amanah
dengan menyebarkan risalah agama, presiden menjalankan amanah melalui
jabatannya, semua wakil rakyat, pejabat publik dan kita sebagai rakyat,
wajib menjalankan amanah dengan menjadi warga negara yang baik. Dengan
kata lain, semua harus menjalankan ketaatan, patuh, dan tunduk sesuai
dengan posisi masing-masing. Bila sikap amanah menjadi penghias dalam
bekerja dan muamalah, kesuksesan dan kepercayaan akan teraih. Tak heran
jika Islam sangat mengutamakan amanah dalam bekerja dan muamalah
meskipun kepada orang kafir.
Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada
yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila kalian menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya
Allâh memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Qs an-Nisâ‘/4:58).
Amanah yang dimaksudkan di sini mencakup semua bentuk amanah yang
wajib atas manusia, mulai dari hak Allâh atas hamba-Nya, seperti shalat,
zakat, puasa, kafarat, nazar, dan lain sebagainya. Juga sesuatu yang
diamanahkan meski tak seorang hamba pun mengetahuinya, seperti titipan
dan lain sebagainya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menunaikannya.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allâh
dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang
dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui (Qs al-Anfâl/8:27)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbâs radhiallahu ‘anhu, dalam riwayat Ibnu Abu Hâtim rahimahullah, berkata, “Seluruh pekerjaan yang diamanahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada setiap hamba-Nya yaitu perkara fardhu, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya ‘Janganlah kalian khianati Allah, yakni jangan kalian mencuranginya.’[3]
Bermodal kesadaran di atas, seharusnya kita mampu keluar dari kebiasaan buruk risywah dan mengubur tradisi korupsi sedalam-dalamnya. Risywah membuat orang lain kehilangan hak, negara kehabisan devisa, dan rakyat terancam masa depan dan hidup menderita.
Risywah yang dilakukan oleh perorangan itu, pada akhirnya
membawa kerusakan yang konkrit secara kolektif dan menyeluruh. Moral
bangsa rusak secara sistematis, kredibilitas negara rusak, nama harum
bangsa ternodai, karakter anak bangsa tercemar dan kita kehilangan
pegangan dalam menentukan masa depan anak cucu.
EFEK SUAP DAN KORUPSI
Budaya suap-menyuap, korupsi, kolusi yang mendarah-daging di
Indonesia, semakin menyulitkan bahkan menggagalkan upaya kita untuk
menempuh jalur bisnis dan birokrasi yang lurus dan bersih. Tampaknya,
semua urusan bisa berjalan lancar asalkan ada “saling pengertian”. Bahkan, semua menjadi “bisa diatur” sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu. Ini sudah menggurita dan berdampak buruk bagi individu, masyarakat dan negara.
Pelaksanaan tender proyek di beberapa instansi misalnya, seperti
proyek pengadaan barang dan jasa, pembangunan dan lain sebagainya.
Sungguh tak lagi berjalan secara profesional. Nilai kontrak dalam
pengadaan barang dan jasa sering kali di-mark up atau digelembungkan sebelum dilaksanakan. Dan sudah menjadi rahasia umum siapapun yang bisa lolos me-mark up anggaran
akan mendapat imbalan, padahal mereka sudah digaji. Dan bagaimana uang
semacam itu dapat mengalir kepada mereka padahal tidak ada perinciannya
dalam anggaran ? Tentu karena ada penyimpangan.
Ada seseorang yang pernah terjebur dalam urusan semacam itu
mengatakan bahwa ia menawarkan kepada suatu instansi, harga satu rim
kertas HVS Rp 26.000, Ia sudah mendapatkan laba untuk perhitungan itu.
Di luar dugaan, pihak instansi memberikan harga lebih mahal, Rp 28.000
dan yang lebih mengagetkan lagi mereka meminta agar kuitansi tagihannya
ditulis dengan harga Rp 45.000. Alasannya macam-macam. Karena orang
yang menawarkan ini mengetahui hukum me-mark up anggaran dan
sanksinya di dunia maupun di akherat, dia menolak tawaran itu, yang
artinya dia rela melepas keuntungan sekitar Rp 10 juta per bulan.
Bagaimana dengan proyek bernilai milyaran?
Yang pasti, saat mark up dilakukan, upeti dijalankan,
sehingga pekerjaan dan hasilnya pun tidak profesional seperti yang
diharapkan. Karena sering kali ada istilah “saling pengertian”
dengan mengorbankan kualitas komponen dan spesifikasi pekerjaan akan
lolos saat pemeriksaan. Karena si pemeriksa sudah dibutakan dengan
tebalnya amplop. Maka jangan heran jika jembatan baru dibangun jebol,
jalan umum baru dibuat rusak, gedung baru dibikin hancur.
Jelas, suap dan semacamnya hanya akan merugikan negara dan
masyarakat. Rakyat kecil yang tidak tahu-menahu akan terus hidup
sengsara. Kekayaan negara yang seharusnya dapat dipergunakan untuk
kemaslahatan mereka menjadi salah alokasi bahkan hanya untuk memperkaya
pribadi. Akibat selanjutnya, kepercayaan masyarakat kepada para
pengelola pemerintah memudar. Ditambah lagi dengan berita tentang hukum
yang dapat diperjual-belikan. Ini semakin membuat pesimis para pencari
keadilan sehingga kondisinya persis seperti yang digambarkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam sabdanya,
بَادِرُوْا بِالأَعْمَالِ سِتًّا:
إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ وَكَثْرَةُ الشُّرَطِ وَبَيْعُ الحُكْمِ
وَاسْتِخْفَافًا بِالدَّمِ وَقَطِيْعَةُ الرَّحِمِ وَنَشْأً يَتَّخِذُوْنَ
القُرْآنَ مَزَامِيْرَ يُقَدِّمُوْنَ أَحَدُهُمْ لِيُغَنِّيَهِمْ وَإِنْ
كَانَ أَقَلَّهُمْ فِقْهًا
Bergegaslah melakukan amal (sebelum datang-red) enam perkara:
munculnya pemimpin yang pandir, banyaknya pembela pemimpin dzalim, jual
beli hukum, meremehkan darah, putusnya silaturahim, hadirnya generasi
muda yang menjadikan al-Qur’ân sebagai seruling, ia dijadikan tokoh bagi umat manusia meskipun ilmunya sangat sedikit.[4]
Akhirnya, kecemburuan kepada orang kaya dan para pengelola negara tak
terbendung, kebencian rakyat kepada mereka memuncak sehingga mereka
sangat mudah terprovokasi dan terbawa arus anarkis.
Bagi dunia bisnis atau usaha swasta, semua yang tidak dijalankan
secara profesional akan menurunkan daya saing. Kalau kebesaran dan
kemajuan bisnis hanya bergantung kepada kedekatan dengan pejabat,
kerabat, atau dukungan aparat, bukan dilandasi profesionalisme, akan
mudah goyah dan tak akan mampu berkompetisi dalam persaingan sehat. Dan
bila para pengusaha dan aparat negara sudah kongkalikong, timbullah penyelewengan, penyelundupan, penggelapan dan seterusnya.
Bila nepotisme dan suap menjadi azas dalam dunia kerja, maka pegawai
yang diterima tidak lagi profesional dan transparan, tidak lagi
berdasarkan kualifikasi yang benar. Sehingga terjadilah ketidakadilan.
Orang-orang yang memenuhi syarat terzalimi; Orang yang seharusnya pantas
memegang amanah pekerjaan dan jabatan, tersingkirkan.
Ketika diminta menjelaskan dampak suap-menyuap, Syaikh Bin Bâz rahimahullah
menguraikan, “Di antara dampak suap adalah antara lain menzalimi
orang-orang lemah, melumatkan hak-hak mereka, atau mereka terlambat
dalam mendapatkan hak-hak tersebut, dan demikian itu setelah melalui
proses berbelit-belit atau pemberian uang pelicin. Suap bisa merusak
moral orang-orang yang mengambil uang suap, baik seorang hakim, pegawai
dan yang lainnya. Bahkan mereka memenangkan kepentingan hawa nafsunya
dan merampas hak-hak orang lain yang tidak memberi uang suap atau mereka
tidak mendapatkan hak-haknya sama sekali. Ditambah lemahnya keimanan
orang yang mengambil uang suap. Maka dia berada dalam lembah murka Allâh
k dan siksaan-Nya baik di dunia dan akhirat. Allâh k hanya menunda,
bukan karena lupa. Dan boleh jadi siksaan disegerakan di dunia sebelum
akhirat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits yang shahih
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى الْعُقُوبَةَ لِصَاحِبِهِ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا
يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ، مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ.
Tidaklah ada suatu dosa yang paling layak disegerakan sanksinya
oleh Allâh k bagi pelakunya di dunia, sementara masih ada simpanan
baginya siksaan di akhirat dibanding melampui batas dan memutuskan
silaturrahmi.[5]
TIDAK SEKADAR PENJARA
Dengan demikian, melawan korupsi dapat dimasukkan dalam kategori
jihad, yaitu jihad melawan hawa nafsu yang menyimpang, mencegah dorongan
maksiat dan keinginan-keinginan yang merusak iman; melawan kaum
munafik, tukang tipu dan pengkhianat amanah; melawan perilaku kotor
para koruptor, orang-orang zhalim perampas hak orang banyak, pembobol
uang negara, tukang pungli dan upeti.
Korupsi merupakan bentuk kezhaliman yang sangat licik. Koruptor
adalah musuh dalam selimut. Ia senantiasa membokong orang atau pihak
yang memberinya amanah. Saat ia disuruh mengamankan asset, ia justru
menggelapkannya. Saat ia diberi amanah, ia mengambilnya dengan
sekehendak hawa nafsu, tak peduli apakah amanah itu milik negara,
perusahaan ataupun majikan. Padahal dalam muamalah, setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala, pihak yang dikhianatinya itu adalah yang selama ini berjasa, menggajinya dan menjamin kesejahteraan diri dan keluarganya.
Melihat kenyataan itu, koruptor layak kita masukkan dalam kategori
musuh jihad, melawan orang-orang munafik dan zalim. Koruptor, baik yang
beroperasi di perusahaan atau instansi pemerintah, di depan atasan,
bawahan, atau masyarakat selalu menunjukkan kesetiaan dan loyalitasnya.
Visi dan misi besarnya selalu dikatakan demi kemajuan kantor,
perusahaan, instansi, bahkan bangsa dan negara.
Bahkan, saat sang koruptor memiliki jabatan di pemerintahan, baik di
legislatif maupun eksekutif, ia tak segan-segan mengobral janji, bahwa
apa yang dilakukannya adalah demi kemakmuran rakyat, membela kaum miskin
dan rakyat jelata. Ia selalu berusaha menampilkan dirinya sebagai
pendekar pembela kebenaran dan pejuang keadilan. Namun, lihatlah
berbagai kasus korupsi yang terungkap belakangan ini. Semuanya tampak
jelas, seperti benderangnya matahari di siang bolong. Apa yang
dilakukannya berbeda jauh dengan kata-kata manis yang keluar dari
bibirnya. Maka, koruptor sungguhlah orang-orang munafik, yang senang
berkata dusta, yang saat berjanji ia ingkar, yang saat dipercaya ia
khianat.
Nabi bersabda,
سَيَكُوْنَ فِي أُمَّتِي اخْتِلاَفٌ وَفُرْقَةٌ , قَوْمٌ يُحْسِنُوْنَ الْقِيْلَ وَيُسِيْئُوْنَ الْفِعْلَ
Akan muncul di tengah umatku perpecahan dan perselisihan. Dan ada
sekelompok kaum yang pandai berbicara dan buruk (kurang cakap) beramal.[6]
Sementara itu, negara kita juga belum menemukan formula hukum yang
bisa memberikan efek jera kepada para koruptor sekaligus menciptakan
sistem yang bisa meminimalisir tindak korupsi. Hukuman mati masih
diberlakukan dan belum akan dihapus di negara kita. Namun, berbeda
dengan Vietnam dan China, hukuman mati di Indonesia tidak menyentuh
pelaku korupsi.
Kita sebagai rakyat tentu hanya bisa mengharapkan adanya sanksi yang
setimpal beratnya dengan bobot kejahatan mereka, sembari memulai
membangun usaha yang sungguh-sungguh (jihad) untuk paling tidak,
menjauhkan diri kita dan orang-orang tercinta kita dari praktik korupsi.
SANKSI DUNIA BAGI KORUPTOR
Banyak sekali ragam sanksi yang diterima pemakan harta haram terutama
harta haram dari hasil korupsi, mulai sanksi di dunia, sanksi di alam
kubur hingga hukuman di akherat berupa api neraka Jahannam, sehingga
para koruptor pasti akan mendapat sanksi berat baik di dunia maupun di
akherat. Di antara sanksi mereka adalah Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengabulkan doanya dan mendapatkan siksaan pedih di alam kuburnya.
Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ الشَّمْلَةَ التيَّ
أَصَابَهَا يَوْمَ خَيْبَرَ مِنَ المَغَانِمَ، لمَ ْتُصِبْهَا
المُقَاسِمُ، لَتَشْتَعِلُ عَلَيْهِ نَارًا
Dan demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh sehelai kain
kecil dari harta ghanimah yang dia curi pada perang Khaibar yang diluar
pembagian ghanimah akan menjadi bara api (di alam kuburnya).[7]
Wahai saudaraku, rintangan hidup dan sanksi rohani maupun fisik yang
diperoleh para koruptor dan pencuri harta negara setelah mati akan lebih
pedih dan sangat berat karena tidak ada pengadilan yang lebih adil dan
jujur daripada pengadilan akherat. Perbuatan korupsi ini menimbulkan
dampak negatif yang sangat banyak dan dampaknya meluas, bahkan bisa
lebih parah daripada terorisme. Karena korupsi membunuh karakter bangsa,
menghancurkan ekonomi negara, melumatkan hak-hak rakyat, mengancam masa
depan generasi bangsa, membuat masyarakat menderita secara dzahir
maupun batin, mematikan sikap amanah dan kejujuran, merusak moral dan
peradaban bangsa dan menghilangkan kepercayaan investor.
Oleh karena itu, darah daging yang tumbuh dari makanan dan minuman
yang haram maka akan menjadi hidangan dan santapan api neraka.
Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا كَعْبُ بْنِ عُجْرَةُ، إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Wahai Ka’ab bin Ujrah, sesungguhnya daging yang tumbuh dari
barang haram tidak akan tumbuh kecuali neraka paling berhak dengannya.[8]
Adapun sanksi di dunia bisa berupa ta’zîr
yaitu hukuman yang kadarnya sangat bergantung pada kebijakan pihak yang
berwenang. Bahkan hukuman bagi para koruptor ini bisa dibunuh bila
perbuatannya menimbulkan dampak negatif secara kolektif dan kekacauan
secara umum berdasarkan firman Allah,
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allâh
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[9],
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar, Kecuali orang-orang yang taubat (di antara
mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah
bahwasanya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs al-Mâidah/5:33-34).
Para ulama sepakat bahwa pencopet, perampok dan perampas harta orang
lain meskipun kejahatannya berat dan dosa besar tapi hukumannya bukan
potong tangan. Dan diperbolehkan (bagi pemimpin neraka) dalam rangka
menghentikan kejahatan mereka menerapkan untuk mereka hukuman cambuk,
sanksi berat, penjara lama, dan denda besar yang membuat mereka jera.[10]
[1]. Lihat Tafsîr al-Wasîth, al-Wahidi an-Naisaburi, 3/ 421.
[2] . Shahîh diriwayatkan Imam Abu Daud dalam Sunannya, no. 3580, Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 1337 dan Imam Ibnu Mâjah dalam Sunannya , no. 2313.
[3] Lihat Tafsir Ibnu Abu Hâtim, 5/ 1684.
[4] . Shahih diriwayatkan Imam Ahmad (10588, 9249, 8835 dan 8427) dan lihat Shahîhul Jâmi’ no. 2812
[5] Shahih diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya (5/ 38), Imam Abu Daud dalam Sunannya (4902), Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (2511) dan beliau berkata, “Hadits ini Hasan Shahih.” Imam Ibnu Mâjah dalam Sunannya (4211) dan al-Hâkim dalam Mustadraknya (3359) dan beliau t menshahihkan sedang Imam adz-Dzahabi menyetujuinya.
[6] Lihat Shahihul Jami’ no: 3667.
[7] Shahih diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (4234) dan Imam Muslim dalam Shahihnya (115
[8] Shahih diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (614I dan Imam ad-Darimi dalam Sunannya (2674).
[9] Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan