Suatu pertanyaan timbul dalam benak banyak orang
saat ini bagaimana hidup dalam Masyarakat Multi Kultural, Ras dan
Agama. Hari demi hari permasalahan semakin merebak bahkan menimbulkan
banyak permasalahan dan korban. Bahan pemikiran untuk dicari solusi
yang paling baik dalam rangka kelanjutan negara Republik Indonesia yang
kita cintai bersama. Sebagai anggota atau warga negara kesatuan
Republik Indonesia, hendaknya menyadari bahwa adanya
keanekaragaman/kemultian dalam kehidupan merupakan ”Anugrah” yang maha
indah dari Maha Pencipta. Merupakan suatu hal yang patut disyukuri,
bukan untuk dipertentangkan. Tidak wajar memaksakan kehendak dari
mayoritas kepada minoritas atau tirani mayoritas kepada minoritas dengan
berbagai dalih apapun. Pendahulu kita menyadari dan mengajarkan
”Bhinneka Tunggal Ika” berbeda-beda tetapi satu adanya. Mari kita hidup
bersama, berdampingan dalam keadaan berbeda, kerjakan tugas pokok
masing-masing, niscaya negara ini berjalan rukun dan damai.
Kenyataan
yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, adanya berbagai permasalah
yang timbul dalam masyarakat berupa tindak kekerasan. Bangsa Indonesia
yang dikenal dengan sopan santun yang tinggi, sifat lemah lembut,
toleransi antar umat beragama sangat baik, berobah menjadi brutal dan
sadis. Keadaan tersebut dapat dilihat dalam kehidupan keseharian kita
belakangan ini, baik melalui masmedia maupun kita alami sendiri. Banyak
tindakan orang-orang berupa perusakan harta benda, penyiksaan bahkan
pembunuhan orang orang tak berdosa dengan berbagai dalih, dengan alasan
menistakan agama. Tempat peribadahan, sekolah-sekolah yang tidak ada
sangkut pautnya secara langsung dengan permasalahan yang timbul, juga
menjadi sasaran pelampiasan kekesalan orang-orang yang tidak
bertanggungjawab.Permasalahan yang timbul yang tidak disadari oleh banyak orang, hidup berdam-pingan dengan berbagai suku, ras, agama, bahasa dan budaya yang berbeda tanpa adanya pembauran, akan mengakibatkan adanya semacam kecurigaan sosial. Akibat gesekan gesekan kecil yang dianggap orang lain merupakan masalah sepele, sementara kolompok lain menganggap masalah tersebut mendasar dan penting maknanya dalam kehidupan mereka. Nilai-nilai yang kita anut dijadikan sebagai ukuran bagi orang lain, sementara orang lain juga mempunyai nilai-nilai tersendiri menurut ukuran mereka. Ukuran yang kita pakai adalah subyektif, kita mengukur orang lain dari segi sudut pandang kita, tanpa memperhatikan latar belakang budaya, ras, agama dan bahasa yang bersangkutan. Kita mengatakan mereka menodai nilai-nilai yang kita anut, padahal mereka tidak ada bermaksud untuk menodai nilai nilai tersebut karena itulah keyakinan mereka dan mereka melaksanakan dengan tekun. Oleh karena mereka minoritas harus mengalah terhadap mayoritas.. Pernahkah kita mengukur nilai-nilai yang kita pakai dari sudut pandang orang lain. Janganlah karena ada perberdaan nilai nilai yang kita miliki, menjadi justifikasi untuk merugikan orang lain. Kita ini Satu Bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apabila kita berada dalam situasi yang demikian ada semacam perasaan ”Zona Aman”. Jarang orang mau berbagi informasi, berbaur dan berhubungan secara efektif dengan orang lain dimana budaya, bahasa dan agama berbeda. Padahal sesungguhnya hal tersebut mengambil peran penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan sikap demikian, secara tidak sadar kita telah membuat suatu tembok yang membatasi kita secara sosial untuk bergaul dengan kolompok lain contoh : suku Batak dengan suku Batak, Jawa dengan Jawa, Sunda dengan Sunda, Ambon dengan Ambon, Bugis dengan Bugis, Manado dengan Manado, Betawi dengan Betawi, Cina dengan Cina, tanpa ada pembauran secara kultural dengan orang lain. Disamping itu yang memisahkan kita dengan orang lain, sering mengemukan satu agama atau beda agama, pendatang dan atau penduduk asli, minoritas dan mayoritas. Lebih mendalam lagi walaupun satu agama masih dibicarakan aliran/denominasi/ kelompok/organisasi/ terekat dll. Semua ini dibicarakan untuk mencari persamaan hingga pengelompokan semakin mengerucut, semakin erat dan semakin ketat. Selama berpuluh puluh tahun keadaan demikian merupakan dinamika kehidupan tumbuh dan berkembang secara alami. alami dengan damai, tetapi belakangan ini yang dicari adalah perbedaan.
Sesungguhnya keragaman diciptakan oleh yang Maha Kuasa supaya kehidupan umat manusia dapat berjalan dengan indah. Agama diturunkan oleh Maha Pencipta untuk kebaikan seluruh umat manusia dengan seisi dunia. Agama sebagai penuntun hidup tentang hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam beserta isinya dan hubungan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta. Agama untuk dilaksanakan sesuai dengan ajaran masing-masing, bukan untuk dipertentangkan dengan agama yang lain. Biarlah dalam keanekaragaman agama di Indonesia, masing-masing melaksanakan syariat agamanya dengan benar. Marilah kita melaksanakan kegiatan ibadah kita sesuai dengan keyakinan kita masing-masing, tanpa menyalahkan orang lain. Kita tidak dapat memaksakan kehendak atau keyakinan kita terhadap orang lain, karena keyakinan itu adalah hubungan pribadi orang dengan Tuhan. Janganlah ada tirani mayoritas terhadap minoritas atau tirani minoritas penguasa terhadap mayoritas yang lemah. Kita ini saling membutuhkan. Sebagai manusia kita tidak dapat hidup sendiri atau hidup menyendiri dalam era globalisasi seperti saat ini, tetapi memerlukan orang lain.
Perlu disadari sepenuhnya pengaruh kehidupan globalisasi dalam berbagai hal tidak dapat dibendung. Negara Republik Indonesia bukan lagi yang kokoh/negara tenang /Steady State tetapi kita menjadi ”Transition dynamic compelexity state” artinya negara kita berada dalam transisi pergerakan yang sangat dinamis kompleks. Perobahan yang sangat cepat dan tidak dapat dibendung akibat desakan perobahan dari dalam maupun dari luar. Mau tidak mau, suka atau tidak suka Indonesia sedang mengalami perobahan. Dunia tanpa batas, dunia semakin sempit, perobahan dalam berbagai bidang begitu cepat. Negara kita sementara seperti seorang yang sedang demam tinggi, sudah didiagnose penyakitnya, sangat berbahaya kalau dibiarkan. Sudah diketahui obat yang akan diberikan, tetapi yang memegang obat belum mau memberikan obat sepenuhnya. Apabila tidak diberikan obat pada waktu tepat, akibatnya fatal.
Menghadapi situasi yang demikian, bagi orang orang yang berpikiran waras, kesadaran akan kebutuhan hidup dalam masyarakat multi kultural, ras dan agama merupakan hal yang sangat penting untuk dimaklumi. Kita harus membuka cakrawala berpikir, sadar dan menerima bahwa perbedaan semakin beraneka ragam, hidup berdampingan dengan orang yang berbeda pasti terjadi. Didalam hal ini dituntut suatu sikap saling menerima didalam perbedaan. Toleransi antar umat diharapkan lebih bijaksana, aparat keamanan dituntut lebih tegas terhadap orang orang yang membuat keonaran di lapangan. Pemerintah memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada orang-orang yang membuat kekacauan. Tokoh tokoh agama berilah siraman rohani yang baik kepada umatnya, jangan membuat situasi semakin ekstrim. Kalau kita menyadari bahwa diri kita dipandang sebagai tokoh agama, hendaknya kata-kata yang keluar dari mulut kita sifatnya menyejukan dan membawa kedamaian. Agama diharapkan membawa rahmat bagi orang lain bukan membawa laknat.
Obat yang paling mujarab saat ini, adalah melaksanakan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Janganlah turut mencampuri tupoksi orang lain. Kita hanya berhak untuk memberikan saran-saran dan kritik tetapi keputusan dan pelaksanaan berada pada yang berwajib atau yang mempunyai wewenang. Sebagai contoh Widyaiswara/guru mengajar, para ulama memberikan siraman rohani untuk kedamaian, pelajar belajar dengan tekun, polisi menjaga keamanan dengan baik, pemerintah memberikan ”reward dan punishment” secara adil tanpa pilih kasih. Penympangan dalam tupoksi tersebut, kita hanya berhak memberikan sara-saran dan kritik kepada para pihak terkait, tetapi diterima atau tidak tergantung kepada yang bersangkutan. Janganlah masyarakat menghakimi anggota masyarakat, anggota masyarakat bertindak sebagai polosi, sementara polisi bertindak sebagai anggota masyarakat. Masyarakat jangan menjadi provakator, menjadi alat bagi orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak boleh ada hukum rimba di negara ini.
Dimana-mana apabila terjadi kekacauan yang menjadi korban adalah masyarakat kecil. Jangan sampai warga negara kita seperti pendapat filsuf Inggris Thomas Hobbes ”Homo Homini Lupus” artinya manusia menjadi serigala bagi sesamanya, tetapi hendaklah kita menjadi ”Homo Sacra Res Homini” artinya manusia suci/baik bagi manusia lain. Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh. Ada saling pengertian, kepedulian, saling menghargai, dan saling menerima dalam ketulusan. Marilah kita melaksanakan tugas pokok dan fungsi kita masing masing dengan baik sehingga Indonesia dapat menjadi negara ”Gemah Ripah Loh Djinawi,Tata Tentrem, Kertorahardjo”. Semoga.