1. Ketua Lembaga Kajian Sosial Masyarakat (LKSM) - Cabang Solok

2. Sekretaris Forum Redam Korupsi (FORK) – Cabang Solok

Senin, 24 Februari 2014

Korupsi di Daerah Kian Marak

Kejahatan terjadi tidak hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Kalimat yang hampir setiap hari disampaikan salah seorang pembawa acara berita kriminal di salah satu stasiun televisi swasta itu sangat tepat untuk menggambarkan maraknya korupsi di daerah sekarang ini.
Sejak kekuasaan didesentralisasikan dari pusat ke kabupaten/kota, jumlah kasus korupsi di daerah meroket tajam. Dari hari ke hari, makin banyak saja pejabat, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, yang terjerat kasus korupsi.
Sudah terlalu sering terdengar suara keprihatinan atas maraknya korupsi di daerah sejak otonomi daerah (otda) digulirkan satu dasawarsa silam, tapi hingga kini belum ada solusi mujarab mengatasinya. Kondisi itu membuat tujuan otda tak kunjung tercapai. Niat menjadikan otda untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat masih sebatas impian. Masih jauh panggang dari api. Yang ada hanyalah raja-raja kecil yang kaget menikmati dana APBD yang berlimpah sebagai buah dari pelaksanaan otda, sementara rakyat dibiarkan miskin.Lalu apa yang harus dilakukan? Harus ada sanksi hukum yang berat bagi para koruptor agar muncul efek jera. Selain sanksi hukum, para koruptor juga harus dijatuhi sanksi sosial, bahkan bila perlu dibikin melarat dengan mengambil seluruh hartanya yang berasal dari hasil korupsi. Dengan begitu semua orang akan berpikir seribu kali untuk memaling uang rakyat atau korupsi.

Jumat, 07 Februari 2014

Negara Paling Bersih dari Korupsi

Denmark dan Selandia Baru kembali dinobatkan sebagai salah satu negara paling bersih dari korupsi menurut Transparency International. Dalam survei yang dikeluarkan oleh lembaga nirlaba yang berbasis di Jeman itu, Denmark dan Selandia sama-sama ada di peringkat pertama dengan skor 91.

Menariknya, di kedua negara itu tak ada hukuman mati bagi koruptor. Selandia Baru telah menghapus hukuman mati sejak 1961.

Di Selandia Baru, meski tak ada hukuman mati bagi koruptor, namun hukuman sosial jauh lebih manjur. Tekanan publik bisa membuat pejabat mundur. Bahkan, untuk soal yang dianggap sangat sepele, polisi bisa turun tangan untuk melakukan investigasi.