Di tengah-tengah gerakan pemberantasan korupsi, resiko para pejabat pemerintah sangat tinggi. Kedapatan menyimpang, pasti diadili dan dimasukkan ke penjara. Sejak beberapa tahun terakhir, betapa banyak pejabat pemerintah yang kedapatan korupsi dan kemudian dipenjarakan.
Dulu, sering terdengar ada perampok, pencuri, pencopet atau sejenisnya tertangkap dan dimasukkan ke penjara. Sekarang ini, berita
tentang pencuri dan pencopet yang dipenjarakan tidak terlalu terdengar
lagi. Sebagai gantinya, sehari-hari diberitakan tentang koruptor dan
bahkan ada yang disebut sebagai koruptor klas kakap.
Resiko pejabat itu sedemikian berat, oleh karena bisa jadi hanya oleh karena kesalahan administrasi
atau prosedur, seorang pejabat sudah dikategorikan korupsi. Mungkin
saja, pejabat yang bersangkutan tidak mengambil dan atau bahkan
mendapatkan keuntungan apa-apa dari uang negara. Namun, karena kesalahan anak buah, kesalahan prosedur, atau administrasi, maka seorang pejabat dinilai salah dan kemudian diadili, atau setidak-tidaknya dijadikan saksi.
Menghadapi kenyataan itu, tidak sedikit pejabat pemerintah yang gelisah, khawatir terkena fitnah, dianggap melakukan
korupsi. Mereka yang tidak tahan dengan keadaan seperti itu lebih
memilih menjadi staf atau bahkan mengundurkan diri dari jabatannya.
Mereka lebih memilih wilayah aman. Demikian pula, sebagai
akibat ancaman itu, para pejabat lebih memilih tidak segera mencairkan
anggaran yang tersedia, manakala tidak diketahui secara jelas, bisa dipertanggung jawabkan.
Akibat
kekhawatiran dimaksudkan itu, penyerapan anggaran pemerintah menjadi
lamban. Dahulu, orang berusaha berlomba-lomba memperbesar anggaran
instansinya, dan bahkan masih meminta anggaran tambahan yang biasanya
dikucurkan pada akhir tahun. Sekarang ini, tidak sedikit pejabat yang
memilih aman. Sementara pejabat pemerintah lebih memilih selamat daripada mendapatkan anggaran berlebih, tetapi tidak menjamin keamanan dirinya.
Namun
juga aneh, di tengah-tengah resiko yang sedemikian besar itu, ternyata
masih ada orang yang berani korupsi. Buktinya, masih saja ada pejabat yang
tertangkap basah melakukan penyimpangan uang negara. Mereka yang berani
itu, ternyata juga bukan orang sembarangan, melainkan pimpinan puncak
instansi pemerintah. Kasus tertangkapnya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil
Mukhtar beberapa waktu yang lalu, adalah salah satu contoh nyata, bahwa
masih ada orang yang paham resiko korupsi tetapi masih nekat
menjalankannya.
Keberanian itu, bisa jadi disebabkan oleh karena yang bersangkutan sudah bermental korup, terlalu mencintai harta kekayaan, jabatan, atau mengetahui
bahwa resiko penyimpangan itu bisa dielakkan lewat pendekatan tertentu.
Misalnya, asalkan administrasi keuangan sudah bisa dipertanggung
jawabkan sesuai dengan aturan yang ada, maka tuduhan itu dianggap tidak
terbukti. Mereka melaporkan kegiatannya sesuai dengan prosedur dan petunjuk keuangan, sekalipun sebenarnya semua laporan itu dimanipulasi sesuai dengan niat jahatnya.
Pengetahuan
tentang masih adanya peluang memanipulasi laporan itulah yang
menjadikan korupsi berjalan terus. Berita dari mulut ke mulut yang
agaknya bisa dipercaya, sebenarnya korupsi itu masih sangat dahsyat,
luas, dan di dilakukan mana-mana. Penyunatan anggaran proyek oleh oknum pejabat pemerintah yang seharusnya diterima oleh rekanan, atau disebut kong kalikong, hingga puluhan persen adalah masih banyak terjadi. Teknis
operasinya dilakukan dengan cara mengkamuflase berupa pergantian
pemenang proyek, manipulasi CV atau PT pelaksana, meminjam payung pemenang, dan seterusnya, adalah masih menjadi hal biasa.
Kecintaan berlebihan terhadap harta kekayaan dan jabatan, ternyata menjadikan pejabat tidak segera berhenti dari perilaku korup, sekalipun resiko itu sedemikian besar. Resiko itu dianggap masih bisa dihindari dengan memanipulasi
data yang ada. Memang, sebagian pejabat sudah merasa takut terhadap
resiko gerakan anti korupsi. Akan tetapi, sebenarnya juga masih banyak orang yang tetap melakukan penyimpangan uang negara lewat celah-celah
yang dianggap aman. Oleh karena itu, mencegah korupsi tidak cukup hanya
lewat peraturan, tanda tangan fakta integritas, atau pendekatan formal
lainnya. Selain itu, pemberantasan korupsi harus disempurnakan dengan
bareng-bareng membersihkan penyakit yang ada di dalam hati
masing-masing, ialah berupa mencintai harta dan jabatan secara
berlebihan. Wallahu a’lam.