1. Ketua Lembaga Kajian Sosial Masyarakat (LKSM) - Cabang Solok

2. Sekretaris Forum Redam Korupsi (FORK) – Cabang Solok

Jumat, 17 Januari 2014

Resiko Menjadi Pejabat Pemerintah

Di tengah-tengah gerakan pemberantasan korupsi, resiko para pejabat pemerintah  sangat tinggi. Kedapatan menyimpang, pasti diadili dan dimasukkan ke penjara. Sejak beberapa tahun  terakhir,  betapa banyak pejabat pemerintah yang kedapatan korupsi dan kemudian dipenjarakan.
 
Dulu,  sering terdengar ada perampok, pencuri, pencopet atau sejenisnya tertangkap dan dimasukkan ke penjara. Sekarang ini,  berita tentang pencuri dan pencopet yang dipenjarakan tidak terlalu terdengar lagi. Sebagai gantinya, sehari-hari diberitakan tentang koruptor dan bahkan ada yang disebut sebagai koruptor klas kakap.

 
Resiko pejabat itu  sedemikian berat, oleh karena bisa jadi hanya oleh karena kesalahan  administrasi atau prosedur, seorang pejabat sudah dikategorikan korupsi. Mungkin saja, pejabat yang bersangkutan tidak mengambil dan atau bahkan mendapatkan keuntungan apa-apa dari uang negara. Namun,  karena kesalahan anak buah,  kesalahan prosedur, atau administrasi, maka seorang pejabat dinilai  salah dan kemudian diadili, atau setidak-tidaknya dijadikan saksi.
 
Menghadapi kenyataan itu, tidak sedikit pejabat pemerintah yang gelisah, khawatir terkena fitnah, dianggap  melakukan korupsi. Mereka yang tidak tahan dengan keadaan seperti itu lebih memilih menjadi staf atau bahkan mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka  lebih memilih wilayah aman. Demikian pula, sebagai akibat ancaman itu, para pejabat lebih memilih tidak segera mencairkan anggaran yang tersedia, manakala tidak diketahui secara jelas,  bisa dipertanggung jawabkan.
 
Akibat kekhawatiran dimaksudkan itu, penyerapan anggaran pemerintah menjadi lamban. Dahulu, orang berusaha berlomba-lomba memperbesar anggaran instansinya, dan bahkan masih meminta anggaran tambahan yang biasanya dikucurkan pada akhir tahun. Sekarang ini, tidak sedikit pejabat yang memilih aman. Sementara pejabat pemerintah  lebih memilih selamat daripada mendapatkan anggaran berlebih,  tetapi tidak menjamin keamanan dirinya.
 
Namun juga aneh, di tengah-tengah resiko yang sedemikian besar itu, ternyata masih ada orang yang berani korupsi. Buktinya, masih saja ada  pejabat  yang tertangkap basah melakukan penyimpangan uang negara. Mereka yang berani itu, ternyata juga bukan orang sembarangan, melainkan pimpinan puncak instansi  pemerintah. Kasus tertangkapnya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi,  Akil Mukhtar beberapa waktu yang lalu, adalah salah satu contoh nyata, bahwa masih ada orang yang paham resiko korupsi tetapi masih nekat menjalankannya. 
 
Keberanian itu, bisa jadi disebabkan oleh karena yang bersangkutan sudah bermental korup, terlalu mencintai harta kekayaan,  jabatan, atau  mengetahui bahwa resiko penyimpangan itu bisa dielakkan lewat pendekatan tertentu. Misalnya, asalkan administrasi keuangan sudah bisa dipertanggung jawabkan sesuai dengan aturan yang ada, maka tuduhan itu dianggap tidak terbukti. Mereka  melaporkan kegiatannya sesuai dengan prosedur dan petunjuk keuangan,  sekalipun sebenarnya semua laporan itu  dimanipulasi sesuai dengan niat jahatnya.
 
Pengetahuan tentang masih adanya peluang memanipulasi laporan itulah yang menjadikan korupsi berjalan terus. Berita dari mulut ke mulut yang agaknya bisa dipercaya, sebenarnya korupsi itu masih sangat dahsyat, luas, dan di dilakukan mana-mana.  Penyunatan anggaran proyek oleh oknum pejabat pemerintah yang seharusnya diterima oleh rekanan, atau disebut kong kalikong,  hingga puluhan persen adalah masih banyak terjadi.  Teknis operasinya dilakukan dengan cara mengkamuflase berupa pergantian pemenang proyek, manipulasi CV atau PT pelaksana, meminjam  payung pemenang,  dan seterusnya, adalah masih menjadi hal biasa.
 
Kecintaan berlebihan terhadap harta kekayaan dan jabatan,  ternyata menjadikan pejabat tidak  segera berhenti dari perilaku korup, sekalipun resiko itu sedemikian besar.  Resiko itu dianggap masih bisa dihindari  dengan  memanipulasi data yang ada. Memang, sebagian pejabat sudah merasa takut terhadap resiko gerakan anti korupsi. Akan tetapi, sebenarnya juga masih banyak  orang yang tetap melakukan penyimpangan uang negara  lewat  celah-celah yang dianggap aman. Oleh karena itu, mencegah korupsi tidak cukup hanya lewat peraturan, tanda tangan fakta integritas, atau pendekatan formal lainnya. Selain itu, pemberantasan korupsi harus disempurnakan dengan bareng-bareng membersihkan penyakit yang ada di dalam hati masing-masing, ialah berupa mencintai harta dan jabatan secara berlebihan. Wallahu a’lam.