Perilaku korupsi
di jajaran birokrasi pemerintahan saat ini tergolong sangat parah. Jika
diibaratkan penyakit dalam tubuh manusia, tak ubahnya seperti penyakit kanker
ganas yang akar-akarnya sudah menjalar ke seluruh bagian tubuh. Meski belum
sampai kepada ajal, penderitaan akibat dari penyakit ini sungguh amat
menyakitkan.
Saat ini
kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang memilukan, sebagai akibat
langsung maupun tidak langsung dari penyakit ini. Jumlah orang miskin di
Indonesia masih tergolong tinggi, ribuan orang terpaksa harus antri untuk
menerima Bantuan Langsung Tunai. Banyak orang harus berduyun-duyun untuk
menerima zakat, yang besarnya tidak seberapa. Di Jakarta ditemukan sekelompok
orang yang terpaksa memakan daging dan makanan lainnya yang diambil dari
tumpukan sampah. Banjir terjadi dimana-mana, karena hasil hutannya dikorupsi
secara besar-besaran. Angka Indeks Pengembangan Sumber Daya Manusia masih
sangat memprihatinkan, karena dana pendidikan juga tidak luput dari keganasan
serangan penyakit ini. Ketidakadilan dalam hukum masih dirasakan di berbagai
belahan wilayah hukum kita, karena para penegak hukumnya sangat rentan terhadap
serangan penyakit ini. Tentunya masih banyak lagi penderitaan-penderitaan
lainnya. Penyakit ini telah menyerang tubuh mulai dari ujung kepala hingga ke
ujung kaki Di bagian kepala, kita telah menyaksikan jenis penyakit yang
menyengsarakan rakyat ini, sebagaimana diperagakan oleh oknum anggota DPR,
oknum Menteri, oknum Kejaksaan Agung, oknum Bank Indonesia, oknum Mabes POLRI, dan
oknum KPU. Di bagian tubuh tengah atau sebut saja bagian dada dan perut, kita
juga telah menyaksikan oknum Gubernur dan beberapa pejabat lainnya di tingkat
provinsi. Sementara di bagian kaki, ada beberapa Bupati, sejumlah anggota DPRD
Kabupaten/Kota, dan sejumlah pejabat lainnya yang berada di wilayah bagian
kaki, termasuk mereka yang berada di bagian telapak kaki.
Sebagian
dari mereka, ada yang sudah jelas-jelas dinyatakan terkena penyakit dan sedang
menjalani pengobatan di beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan sebagian lagi ada
yang masih dalam taraf dugaan (suspected) dan sedang menjalani proses
diagnosis. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk
siap-siap menjalani pengobatan pula.
Kanker ganas
yang menyerang bagian kepala biasanya jauh lebih berbahaya, karena di sana
terdapat otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali aktivitas kehidupan
Begitu juga dengan penyakit korupsi, korupsi pada bagian kepala, kerugian yang
diderita negara bisa mencapai milyaran bahkan trilyunan rupiah. Sementara
korupsi di tingkat telapak kaki mungkin hanya bernilai recehan, tetapi ibarat
penyakit kanker, meski berada di bagian telapak kaki dan bersifat recehan, jika
dibiarkan tetap saja akan membahayakan dan merugikan. Kebijakan Otonomi Daerah,
yang semula bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat bawah (grass
root), malah disinyalir telah semakin mendorong tumbuh suburnya korupsi di
bagian kaki ini. Bahkan tingkat bahayanya pun hampir sudah bisa menandingi
penyakit korupsi di bagian kepala.
Begitu
parahnya penyakit korupsi di Indonesia, ternyata tidak hanya terjadi pada saat
berada di dalam negeri atau kampung halaman sendiri, ketika berada di luar
negeri sekalipun, penyakit ini masih terbawa-bawa, seperti apa yang dilakukan
oleh oknum Duta Besar dan Konsulat Jenderal.. Memang sudah sangat keterlaluan
cara-cara korupsi yang dilakukan anak bangsa ini, jangan-jangan suatu saat
ketika sedang dijerumuskan ke dalam neraka jahanam pun, masih ada orang
Indonesia yang nekad berbuat korupsi. Akibat penyakit korupsi yang sudah sangat
akut dan kronis ini, maka tidak mengherankan jika saat ini Indonesia dinyatakan
sebagai lima besar negara terkorup di dunia. Sungguh menjadi ironis, ketika
bangsa lain sedang berusaha membangun negaranya untuk dapat menjadi negara
SUPER POWER yang disegani dan dihormati oleh bangsa lainnya, yang terjadi di
Indonesia malah ramai-ramai orang berkorupsi membentuk negara SUPER CORRUPT.
Untuk
menyembuhkan penyakit korupsi yang demikian parah ini, akhirnya datanglah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Kehadiran KPK dapat diibaratkan sebagai Dokter Spesialis Korupsi dan
sebagaimana layaknya seorang Dokter Spesialis, kemampuan dan komitmennya pasti
lebih unggul. Peralatan dan metode yang digunakan pun tidak lagi menggunakan
cara-cara konvensional, dan hasilnya boleh dikatakan tidak terlalu
mengecewakan, setidaknya bisa mengurangi beban penderitaan sang pasien.
Beberapa kasus yang telah disebutkan di atas, diantaranya merupakan hasil
diagnosis dan kerja keras dari KPK, sang Dokter Spesialis Korupsi ini.
Mungkin
karena usianya relatif masih muda, langkah-langkah yang diambil sang Dokter
Spesialis Korupsi ini pun tampaknya belum bisa menjangkau seluruh bagian tubuh,
baru bagian-bagian tubuh tertentu saja. Andaikan Dokter Spesialis Korupsi ini
terus bergerak melakukan kiprahnya secara konsisten, maka hampir bisa
dipastikan ke depannya akan semakin banyak ditemukan bagian-bagian tubuh yang
terjangkiti penyakit, baik yang berada di bagian kepala, perut, maupun telapak
kaki, dan orang-orang yang perlu dirawat pun akan semakin bertambah.
Seharusnya
pekerjaan mendiagnosis penyakit korupsi ini dilakukan oleh lembaga Kejaksaan
dan Kepolisian, namun kedua lembaga penegakan hukum ini tampaknya sedang
dirundung penyakit yang sama, bahkan diduga kondisinya jauh lebih parah. Tidak
sedikit kasus korupsi yang ditangani kedua lembaga tersebut, bukannya menjadi
sembuh tapi malah menjadi semakin parah, karena bentuk dan metode pengobatan
yang digunakannya menyimpang dari prosedur seharusnya alias memberantas korupsi
dengan cara korupsi lagi ! Bagi oknum jaksa atau polisi yang sudah terserang
penyakit ini, kehadiran KPK mungkin akan dianggap sebagai kompetitor yang telah
merebut lahan bisnisnya sekaligus juga ancaman bagi dirinya.
Tentunya
kita semua berharap, penyakit korupsi ini dapat segera sembuh secara tuntas.
Kita tidak menghendaki esok atau lusa ada orang lain yang berucap: “TURUT
BERDUKA CITA, TELAH BERPULANG KE RAHMATULLAH SEBUAH NEGERI YANG BERNAMA
INDONESIA”, MENINGGAL DISEBABKAN OLEH PENYAKIT KORUPSI YANG TAK TEROBATI.
Sumber : http://www.artikel-keren.com
Korupsi di Indonesia Ibarat Kanker Ganas
Perilaku
korupsi di jajaran birokrasi pemerintahan saat ini tergolong sangat
parah. Jika diibaratkan penyakit dalam tubuh manusia, tak ubahnya
seperti penyakit kanker ganas yang akar-akarnya sudah menjalar ke
seluruh bagian tubuh. Meski belum sampai kepada ajal, penderitaan akibat
dari penyakit ini sungguh amat menyakitkan.
Saat ini
kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang memilukan, sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung dari penyakit ini. Jumlah orang
miskin di Indonesia masih tergolong tinggi, ribuan orang terpaksa harus
antri untuk menerima Bantuan Langsung Tunai. Banyak orang harus
berduyun-duyun untuk menerima zakat, yang besarnya tidak seberapa. Di
Jakarta ditemukan sekelompok orang yang terpaksa memakan daging dan
makanan lainnya yang diambil dari tumpukan sampah. Banjir terjadi
dimana-mana, karena hasil hutannya dikorupsi secara besar-besaran. Angka
Indeks Pengembangan Sumber Daya Manusia masih sangat memprihatinkan,
karena dana pendidikan juga tidak luput dari keganasan serangan penyakit
ini. Ketidakadilan dalam hukum masih dirasakan di berbagai belahan
wilayah hukum kita, karena para penegak hukumnya sangat rentan terhadap
serangan penyakit ini. Tentunya masih banyak lagi
penderitaan-penderitaan lainnya. Penyakit ini telah menyerang tubuh
mulai dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Di bagian kepala, kita
telah menyaksikan jenis penyakit yang menyengsarakan rakyat ini,
sebagaimana diperagakan oleh oknum anggota DPR, oknum Menteri, oknum
Kejaksaan Agung, oknum Bank Indonesia, oknum Mabes POLRI, dan oknum KPU.
Di bagian tubuh tengah atau sebut saja bagian dada dan perut, kita juga
telah menyaksikan oknum Gubernur dan beberapa pejabat lainnya di
tingkat provinsi. Sementara di bagian kaki, ada beberapa Bupati,
sejumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan sejumlah pejabat lainnya yang
berada di wilayah bagian kaki, termasuk mereka yang berada di bagian
telapak kaki.
Sebagian dari mereka, ada yang sudah
jelas-jelas dinyatakan terkena penyakit dan sedang menjalani pengobatan
di beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan sebagian lagi ada yang masih
dalam taraf dugaan (suspected) dan sedang menjalani proses diagnosis.
Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk siap-siap
menjalani pengobatan pula.
Kanker ganas yang
menyerang bagian kepala biasanya jauh lebih berbahaya, karena di sana
terdapat otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali aktivitas
kehidupan Begitu juga dengan penyakit korupsi, korupsi pada bagian
kepala, kerugian yang diderita negara bisa mencapai milyaran bahkan
trilyunan rupiah. Sementara korupsi di tingkat telapak kaki mungkin
hanya bernilai recehan, tetapi ibarat penyakit kanker, meski berada di
bagian telapak kaki dan bersifat recehan, jika dibiarkan tetap saja akan
membahayakan dan merugikan. Kebijakan Otonomi Daerah, yang semula
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat bawah (grass root),
malah disinyalir telah semakin mendorong tumbuh suburnya korupsi di
bagian kaki ini. Bahkan tingkat bahayanya pun hampir sudah bisa
menandingi penyakit korupsi di bagian kepala.
Begitu
parahnya penyakit korupsi di Indonesia, ternyata tidak hanya terjadi
pada saat berada di dalam negeri atau kampung halaman sendiri, ketika
berada di luar negeri sekalipun, penyakit ini masih terbawa-bawa,
seperti apa yang dilakukan oleh oknum Duta Besar dan Konsulat Jenderal..
Memang sudah sangat keterlaluan cara-cara korupsi yang dilakukan anak
bangsa ini, jangan-jangan suatu saat ketika sedang dijerumuskan ke dalam
neraka jahanam pun, masih ada orang Indonesia yang nekad berbuat
korupsi. Akibat penyakit korupsi yang sudah sangat akut dan kronis ini,
maka tidak mengherankan jika saat ini Indonesia dinyatakan sebagai lima
besar negara terkorup di dunia. Sungguh menjadi ironis, ketika bangsa
lain sedang berusaha membangun negaranya untuk dapat menjadi negara
SUPER POWER yang disegani dan dihormati oleh bangsa lainnya, yang
terjadi di Indonesia malah ramai-ramai orang berkorupsi membentuk negara
SUPER CORRUPT.
Untuk menyembuhkan penyakit korupsi
yang demikian parah ini, akhirnya datanglah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran KPK dapat
diibaratkan sebagai Dokter Spesialis Korupsi dan sebagaimana layaknya
seorang Dokter Spesialis, kemampuan dan komitmennya pasti lebih unggul.
Peralatan dan metode yang digunakan pun tidak lagi menggunakan cara-cara
konvensional, dan hasilnya boleh dikatakan tidak terlalu mengecewakan,
setidaknya bisa mengurangi beban penderitaan sang pasien. Beberapa kasus
yang telah disebutkan di atas, diantaranya merupakan hasil diagnosis
dan kerja keras dari KPK, sang Dokter Spesialis Korupsi ini.
Mungkin
karena usianya relatif masih muda, langkah-langkah yang diambil sang
Dokter Spesialis Korupsi ini pun tampaknya belum bisa menjangkau seluruh
bagian tubuh, baru bagian-bagian tubuh tertentu saja. Andaikan Dokter
Spesialis Korupsi ini terus bergerak melakukan kiprahnya secara
konsisten, maka hampir bisa dipastikan ke depannya akan semakin banyak
ditemukan bagian-bagian tubuh yang terjangkiti penyakit, baik yang
berada di bagian kepala, perut, maupun telapak kaki, dan orang-orang
yang perlu dirawat pun akan semakin bertambah.
Seharusnya
pekerjaan mendiagnosis penyakit korupsi ini dilakukan oleh lembaga
Kejaksaan dan Kepolisian, namun kedua lembaga penegakan hukum ini
tampaknya sedang dirundung penyakit yang sama, bahkan diduga kondisinya
jauh lebih parah. Tidak sedikit kasus korupsi yang ditangani kedua
lembaga tersebut, bukannya menjadi sembuh tapi malah menjadi semakin
parah, karena bentuk dan metode pengobatan yang digunakannya menyimpang
dari prosedur seharusnya alias memberantas korupsi dengan cara korupsi
lagi ! Bagi oknum jaksa atau polisi yang sudah terserang penyakit ini,
kehadiran KPK mungkin akan dianggap sebagai kompetitor yang telah
merebut lahan bisnisnya sekaligus juga ancaman bagi dirinya.
Tentunya
kita semua berharap, penyakit korupsi ini dapat segera sembuh secara
tuntas. Kita tidak menghendaki esok atau lusa ada orang lain yang
berucap: “TURUT BERDUKA CITA, TELAH BERPULANG KE RAHMATULLAH SEBUAH
NEGERI YANG BERNAMA INDONESIA”, MENINGGAL DISEBABKAN OLEH PENYAKIT
KORUPSI YANG TAK TEROBATI.
- See more at: http://www.artikel-keren.com/view/519fef86f7b73031db00131e#sthash.suTgLNk4.dpuf
Korupsi di Indonesia Ibarat Kanker Ganas
Perilaku
korupsi di jajaran birokrasi pemerintahan saat ini tergolong sangat
parah. Jika diibaratkan penyakit dalam tubuh manusia, tak ubahnya
seperti penyakit kanker ganas yang akar-akarnya sudah menjalar ke
seluruh bagian tubuh. Meski belum sampai kepada ajal, penderitaan akibat
dari penyakit ini sungguh amat menyakitkan.
Saat ini
kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang memilukan, sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung dari penyakit ini. Jumlah orang
miskin di Indonesia masih tergolong tinggi, ribuan orang terpaksa harus
antri untuk menerima Bantuan Langsung Tunai. Banyak orang harus
berduyun-duyun untuk menerima zakat, yang besarnya tidak seberapa. Di
Jakarta ditemukan sekelompok orang yang terpaksa memakan daging dan
makanan lainnya yang diambil dari tumpukan sampah. Banjir terjadi
dimana-mana, karena hasil hutannya dikorupsi secara besar-besaran. Angka
Indeks Pengembangan Sumber Daya Manusia masih sangat memprihatinkan,
karena dana pendidikan juga tidak luput dari keganasan serangan penyakit
ini. Ketidakadilan dalam hukum masih dirasakan di berbagai belahan
wilayah hukum kita, karena para penegak hukumnya sangat rentan terhadap
serangan penyakit ini. Tentunya masih banyak lagi
penderitaan-penderitaan lainnya. Penyakit ini telah menyerang tubuh
mulai dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Di bagian kepala, kita
telah menyaksikan jenis penyakit yang menyengsarakan rakyat ini,
sebagaimana diperagakan oleh oknum anggota DPR, oknum Menteri, oknum
Kejaksaan Agung, oknum Bank Indonesia, oknum Mabes POLRI, dan oknum KPU.
Di bagian tubuh tengah atau sebut saja bagian dada dan perut, kita juga
telah menyaksikan oknum Gubernur dan beberapa pejabat lainnya di
tingkat provinsi. Sementara di bagian kaki, ada beberapa Bupati,
sejumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan sejumlah pejabat lainnya yang
berada di wilayah bagian kaki, termasuk mereka yang berada di bagian
telapak kaki.
Sebagian dari mereka, ada yang sudah
jelas-jelas dinyatakan terkena penyakit dan sedang menjalani pengobatan
di beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan sebagian lagi ada yang masih
dalam taraf dugaan (suspected) dan sedang menjalani proses diagnosis.
Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk siap-siap
menjalani pengobatan pula.
Kanker ganas yang
menyerang bagian kepala biasanya jauh lebih berbahaya, karena di sana
terdapat otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali aktivitas
kehidupan Begitu juga dengan penyakit korupsi, korupsi pada bagian
kepala, kerugian yang diderita negara bisa mencapai milyaran bahkan
trilyunan rupiah. Sementara korupsi di tingkat telapak kaki mungkin
hanya bernilai recehan, tetapi ibarat penyakit kanker, meski berada di
bagian telapak kaki dan bersifat recehan, jika dibiarkan tetap saja akan
membahayakan dan merugikan. Kebijakan Otonomi Daerah, yang semula
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat bawah (grass root),
malah disinyalir telah semakin mendorong tumbuh suburnya korupsi di
bagian kaki ini. Bahkan tingkat bahayanya pun hampir sudah bisa
menandingi penyakit korupsi di bagian kepala.
Begitu
parahnya penyakit korupsi di Indonesia, ternyata tidak hanya terjadi
pada saat berada di dalam negeri atau kampung halaman sendiri, ketika
berada di luar negeri sekalipun, penyakit ini masih terbawa-bawa,
seperti apa yang dilakukan oleh oknum Duta Besar dan Konsulat Jenderal..
Memang sudah sangat keterlaluan cara-cara korupsi yang dilakukan anak
bangsa ini, jangan-jangan suatu saat ketika sedang dijerumuskan ke dalam
neraka jahanam pun, masih ada orang Indonesia yang nekad berbuat
korupsi. Akibat penyakit korupsi yang sudah sangat akut dan kronis ini,
maka tidak mengherankan jika saat ini Indonesia dinyatakan sebagai lima
besar negara terkorup di dunia. Sungguh menjadi ironis, ketika bangsa
lain sedang berusaha membangun negaranya untuk dapat menjadi negara
SUPER POWER yang disegani dan dihormati oleh bangsa lainnya, yang
terjadi di Indonesia malah ramai-ramai orang berkorupsi membentuk negara
SUPER CORRUPT.
Untuk menyembuhkan penyakit korupsi
yang demikian parah ini, akhirnya datanglah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran KPK dapat
diibaratkan sebagai Dokter Spesialis Korupsi dan sebagaimana layaknya
seorang Dokter Spesialis, kemampuan dan komitmennya pasti lebih unggul.
Peralatan dan metode yang digunakan pun tidak lagi menggunakan cara-cara
konvensional, dan hasilnya boleh dikatakan tidak terlalu mengecewakan,
setidaknya bisa mengurangi beban penderitaan sang pasien. Beberapa kasus
yang telah disebutkan di atas, diantaranya merupakan hasil diagnosis
dan kerja keras dari KPK, sang Dokter Spesialis Korupsi ini.
Mungkin
karena usianya relatif masih muda, langkah-langkah yang diambil sang
Dokter Spesialis Korupsi ini pun tampaknya belum bisa menjangkau seluruh
bagian tubuh, baru bagian-bagian tubuh tertentu saja. Andaikan Dokter
Spesialis Korupsi ini terus bergerak melakukan kiprahnya secara
konsisten, maka hampir bisa dipastikan ke depannya akan semakin banyak
ditemukan bagian-bagian tubuh yang terjangkiti penyakit, baik yang
berada di bagian kepala, perut, maupun telapak kaki, dan orang-orang
yang perlu dirawat pun akan semakin bertambah.
Seharusnya
pekerjaan mendiagnosis penyakit korupsi ini dilakukan oleh lembaga
Kejaksaan dan Kepolisian, namun kedua lembaga penegakan hukum ini
tampaknya sedang dirundung penyakit yang sama, bahkan diduga kondisinya
jauh lebih parah. Tidak sedikit kasus korupsi yang ditangani kedua
lembaga tersebut, bukannya menjadi sembuh tapi malah menjadi semakin
parah, karena bentuk dan metode pengobatan yang digunakannya menyimpang
dari prosedur seharusnya alias memberantas korupsi dengan cara korupsi
lagi ! Bagi oknum jaksa atau polisi yang sudah terserang penyakit ini,
kehadiran KPK mungkin akan dianggap sebagai kompetitor yang telah
merebut lahan bisnisnya sekaligus juga ancaman bagi dirinya.
Tentunya
kita semua berharap, penyakit korupsi ini dapat segera sembuh secara
tuntas. Kita tidak menghendaki esok atau lusa ada orang lain yang
berucap: “TURUT BERDUKA CITA, TELAH BERPULANG KE RAHMATULLAH SEBUAH
NEGERI YANG BERNAMA INDONESIA”, MENINGGAL DISEBABKAN OLEH PENYAKIT
KORUPSI YANG TAK TEROBATI.
- See more at: http://www.artikel-keren.com/view/519fef86f7b73031db00131e#sthash.suTgLNk4.dpuf
Korupsi di Indonesia Ibarat Kanker Ganas
Perilaku
korupsi di jajaran birokrasi pemerintahan saat ini tergolong sangat
parah. Jika diibaratkan penyakit dalam tubuh manusia, tak ubahnya
seperti penyakit kanker ganas yang akar-akarnya sudah menjalar ke
seluruh bagian tubuh. Meski belum sampai kepada ajal, penderitaan akibat
dari penyakit ini sungguh amat menyakitkan.
Saat ini
kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang memilukan, sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung dari penyakit ini. Jumlah orang
miskin di Indonesia masih tergolong tinggi, ribuan orang terpaksa harus
antri untuk menerima Bantuan Langsung Tunai. Banyak orang harus
berduyun-duyun untuk menerima zakat, yang besarnya tidak seberapa. Di
Jakarta ditemukan sekelompok orang yang terpaksa memakan daging dan
makanan lainnya yang diambil dari tumpukan sampah. Banjir terjadi
dimana-mana, karena hasil hutannya dikorupsi secara besar-besaran. Angka
Indeks Pengembangan Sumber Daya Manusia masih sangat memprihatinkan,
karena dana pendidikan juga tidak luput dari keganasan serangan penyakit
ini. Ketidakadilan dalam hukum masih dirasakan di berbagai belahan
wilayah hukum kita, karena para penegak hukumnya sangat rentan terhadap
serangan penyakit ini. Tentunya masih banyak lagi
penderitaan-penderitaan lainnya. Penyakit ini telah menyerang tubuh
mulai dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Di bagian kepala, kita
telah menyaksikan jenis penyakit yang menyengsarakan rakyat ini,
sebagaimana diperagakan oleh oknum anggota DPR, oknum Menteri, oknum
Kejaksaan Agung, oknum Bank Indonesia, oknum Mabes POLRI, dan oknum KPU.
Di bagian tubuh tengah atau sebut saja bagian dada dan perut, kita juga
telah menyaksikan oknum Gubernur dan beberapa pejabat lainnya di
tingkat provinsi. Sementara di bagian kaki, ada beberapa Bupati,
sejumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan sejumlah pejabat lainnya yang
berada di wilayah bagian kaki, termasuk mereka yang berada di bagian
telapak kaki.
Sebagian dari mereka, ada yang sudah
jelas-jelas dinyatakan terkena penyakit dan sedang menjalani pengobatan
di beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan sebagian lagi ada yang masih
dalam taraf dugaan (suspected) dan sedang menjalani proses diagnosis.
Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk siap-siap
menjalani pengobatan pula.
Kanker ganas yang
menyerang bagian kepala biasanya jauh lebih berbahaya, karena di sana
terdapat otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali aktivitas
kehidupan Begitu juga dengan penyakit korupsi, korupsi pada bagian
kepala, kerugian yang diderita negara bisa mencapai milyaran bahkan
trilyunan rupiah. Sementara korupsi di tingkat telapak kaki mungkin
hanya bernilai recehan, tetapi ibarat penyakit kanker, meski berada di
bagian telapak kaki dan bersifat recehan, jika dibiarkan tetap saja akan
membahayakan dan merugikan. Kebijakan Otonomi Daerah, yang semula
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat bawah (grass root),
malah disinyalir telah semakin mendorong tumbuh suburnya korupsi di
bagian kaki ini. Bahkan tingkat bahayanya pun hampir sudah bisa
menandingi penyakit korupsi di bagian kepala.
Begitu
parahnya penyakit korupsi di Indonesia, ternyata tidak hanya terjadi
pada saat berada di dalam negeri atau kampung halaman sendiri, ketika
berada di luar negeri sekalipun, penyakit ini masih terbawa-bawa,
seperti apa yang dilakukan oleh oknum Duta Besar dan Konsulat Jenderal..
Memang sudah sangat keterlaluan cara-cara korupsi yang dilakukan anak
bangsa ini, jangan-jangan suatu saat ketika sedang dijerumuskan ke dalam
neraka jahanam pun, masih ada orang Indonesia yang nekad berbuat
korupsi. Akibat penyakit korupsi yang sudah sangat akut dan kronis ini,
maka tidak mengherankan jika saat ini Indonesia dinyatakan sebagai lima
besar negara terkorup di dunia. Sungguh menjadi ironis, ketika bangsa
lain sedang berusaha membangun negaranya untuk dapat menjadi negara
SUPER POWER yang disegani dan dihormati oleh bangsa lainnya, yang
terjadi di Indonesia malah ramai-ramai orang berkorupsi membentuk negara
SUPER CORRUPT.
Untuk menyembuhkan penyakit korupsi
yang demikian parah ini, akhirnya datanglah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran KPK dapat
diibaratkan sebagai Dokter Spesialis Korupsi dan sebagaimana layaknya
seorang Dokter Spesialis, kemampuan dan komitmennya pasti lebih unggul.
Peralatan dan metode yang digunakan pun tidak lagi menggunakan cara-cara
konvensional, dan hasilnya boleh dikatakan tidak terlalu mengecewakan,
setidaknya bisa mengurangi beban penderitaan sang pasien. Beberapa kasus
yang telah disebutkan di atas, diantaranya merupakan hasil diagnosis
dan kerja keras dari KPK, sang Dokter Spesialis Korupsi ini.
Mungkin
karena usianya relatif masih muda, langkah-langkah yang diambil sang
Dokter Spesialis Korupsi ini pun tampaknya belum bisa menjangkau seluruh
bagian tubuh, baru bagian-bagian tubuh tertentu saja. Andaikan Dokter
Spesialis Korupsi ini terus bergerak melakukan kiprahnya secara
konsisten, maka hampir bisa dipastikan ke depannya akan semakin banyak
ditemukan bagian-bagian tubuh yang terjangkiti penyakit, baik yang
berada di bagian kepala, perut, maupun telapak kaki, dan orang-orang
yang perlu dirawat pun akan semakin bertambah.
Seharusnya
pekerjaan mendiagnosis penyakit korupsi ini dilakukan oleh lembaga
Kejaksaan dan Kepolisian, namun kedua lembaga penegakan hukum ini
tampaknya sedang dirundung penyakit yang sama, bahkan diduga kondisinya
jauh lebih parah. Tidak sedikit kasus korupsi yang ditangani kedua
lembaga tersebut, bukannya menjadi sembuh tapi malah menjadi semakin
parah, karena bentuk dan metode pengobatan yang digunakannya menyimpang
dari prosedur seharusnya alias memberantas korupsi dengan cara korupsi
lagi ! Bagi oknum jaksa atau polisi yang sudah terserang penyakit ini,
kehadiran KPK mungkin akan dianggap sebagai kompetitor yang telah
merebut lahan bisnisnya sekaligus juga ancaman bagi dirinya.
Tentunya
kita semua berharap, penyakit korupsi ini dapat segera sembuh secara
tuntas. Kita tidak menghendaki esok atau lusa ada orang lain yang
berucap: “TURUT BERDUKA CITA, TELAH BERPULANG KE RAHMATULLAH SEBUAH
NEGERI YANG BERNAMA INDONESIA”, MENINGGAL DISEBABKAN OLEH PENYAKIT
KORUPSI YANG TAK TEROBATI.
- See more at: http://www.artikel-keren.com/view/519fef86f7b73031db00131e#sthash.suTgLNk4.dpuf
Korupsi di Indonesia Ibarat Kanker Ganas
Perilaku
korupsi di jajaran birokrasi pemerintahan saat ini tergolong sangat
parah. Jika diibaratkan penyakit dalam tubuh manusia, tak ubahnya
seperti penyakit kanker ganas yang akar-akarnya sudah menjalar ke
seluruh bagian tubuh. Meski belum sampai kepada ajal, penderitaan akibat
dari penyakit ini sungguh amat menyakitkan.
Saat ini
kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang memilukan, sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung dari penyakit ini. Jumlah orang
miskin di Indonesia masih tergolong tinggi, ribuan orang terpaksa harus
antri untuk menerima Bantuan Langsung Tunai. Banyak orang harus
berduyun-duyun untuk menerima zakat, yang besarnya tidak seberapa. Di
Jakarta ditemukan sekelompok orang yang terpaksa memakan daging dan
makanan lainnya yang diambil dari tumpukan sampah. Banjir terjadi
dimana-mana, karena hasil hutannya dikorupsi secara besar-besaran. Angka
Indeks Pengembangan Sumber Daya Manusia masih sangat memprihatinkan,
karena dana pendidikan juga tidak luput dari keganasan serangan penyakit
ini. Ketidakadilan dalam hukum masih dirasakan di berbagai belahan
wilayah hukum kita, karena para penegak hukumnya sangat rentan terhadap
serangan penyakit ini. Tentunya masih banyak lagi
penderitaan-penderitaan lainnya. Penyakit ini telah menyerang tubuh
mulai dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Di bagian kepala, kita
telah menyaksikan jenis penyakit yang menyengsarakan rakyat ini,
sebagaimana diperagakan oleh oknum anggota DPR, oknum Menteri, oknum
Kejaksaan Agung, oknum Bank Indonesia, oknum Mabes POLRI, dan oknum KPU.
Di bagian tubuh tengah atau sebut saja bagian dada dan perut, kita juga
telah menyaksikan oknum Gubernur dan beberapa pejabat lainnya di
tingkat provinsi. Sementara di bagian kaki, ada beberapa Bupati,
sejumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan sejumlah pejabat lainnya yang
berada di wilayah bagian kaki, termasuk mereka yang berada di bagian
telapak kaki.
Sebagian dari mereka, ada yang sudah
jelas-jelas dinyatakan terkena penyakit dan sedang menjalani pengobatan
di beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan sebagian lagi ada yang masih
dalam taraf dugaan (suspected) dan sedang menjalani proses diagnosis.
Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk siap-siap
menjalani pengobatan pula.
Kanker ganas yang
menyerang bagian kepala biasanya jauh lebih berbahaya, karena di sana
terdapat otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali aktivitas
kehidupan Begitu juga dengan penyakit korupsi, korupsi pada bagian
kepala, kerugian yang diderita negara bisa mencapai milyaran bahkan
trilyunan rupiah. Sementara korupsi di tingkat telapak kaki mungkin
hanya bernilai recehan, tetapi ibarat penyakit kanker, meski berada di
bagian telapak kaki dan bersifat recehan, jika dibiarkan tetap saja akan
membahayakan dan merugikan. Kebijakan Otonomi Daerah, yang semula
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat bawah (grass root),
malah disinyalir telah semakin mendorong tumbuh suburnya korupsi di
bagian kaki ini. Bahkan tingkat bahayanya pun hampir sudah bisa
menandingi penyakit korupsi di bagian kepala.
Begitu
parahnya penyakit korupsi di Indonesia, ternyata tidak hanya terjadi
pada saat berada di dalam negeri atau kampung halaman sendiri, ketika
berada di luar negeri sekalipun, penyakit ini masih terbawa-bawa,
seperti apa yang dilakukan oleh oknum Duta Besar dan Konsulat Jenderal..
Memang sudah sangat keterlaluan cara-cara korupsi yang dilakukan anak
bangsa ini, jangan-jangan suatu saat ketika sedang dijerumuskan ke dalam
neraka jahanam pun, masih ada orang Indonesia yang nekad berbuat
korupsi. Akibat penyakit korupsi yang sudah sangat akut dan kronis ini,
maka tidak mengherankan jika saat ini Indonesia dinyatakan sebagai lima
besar negara terkorup di dunia. Sungguh menjadi ironis, ketika bangsa
lain sedang berusaha membangun negaranya untuk dapat menjadi negara
SUPER POWER yang disegani dan dihormati oleh bangsa lainnya, yang
terjadi di Indonesia malah ramai-ramai orang berkorupsi membentuk negara
SUPER CORRUPT.
Untuk menyembuhkan penyakit korupsi
yang demikian parah ini, akhirnya datanglah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran KPK dapat
diibaratkan sebagai Dokter Spesialis Korupsi dan sebagaimana layaknya
seorang Dokter Spesialis, kemampuan dan komitmennya pasti lebih unggul.
Peralatan dan metode yang digunakan pun tidak lagi menggunakan cara-cara
konvensional, dan hasilnya boleh dikatakan tidak terlalu mengecewakan,
setidaknya bisa mengurangi beban penderitaan sang pasien. Beberapa kasus
yang telah disebutkan di atas, diantaranya merupakan hasil diagnosis
dan kerja keras dari KPK, sang Dokter Spesialis Korupsi ini.
Mungkin
karena usianya relatif masih muda, langkah-langkah yang diambil sang
Dokter Spesialis Korupsi ini pun tampaknya belum bisa menjangkau seluruh
bagian tubuh, baru bagian-bagian tubuh tertentu saja. Andaikan Dokter
Spesialis Korupsi ini terus bergerak melakukan kiprahnya secara
konsisten, maka hampir bisa dipastikan ke depannya akan semakin banyak
ditemukan bagian-bagian tubuh yang terjangkiti penyakit, baik yang
berada di bagian kepala, perut, maupun telapak kaki, dan orang-orang
yang perlu dirawat pun akan semakin bertambah.
Seharusnya
pekerjaan mendiagnosis penyakit korupsi ini dilakukan oleh lembaga
Kejaksaan dan Kepolisian, namun kedua lembaga penegakan hukum ini
tampaknya sedang dirundung penyakit yang sama, bahkan diduga kondisinya
jauh lebih parah. Tidak sedikit kasus korupsi yang ditangani kedua
lembaga tersebut, bukannya menjadi sembuh tapi malah menjadi semakin
parah, karena bentuk dan metode pengobatan yang digunakannya menyimpang
dari prosedur seharusnya alias memberantas korupsi dengan cara korupsi
lagi ! Bagi oknum jaksa atau polisi yang sudah terserang penyakit ini,
kehadiran KPK mungkin akan dianggap sebagai kompetitor yang telah
merebut lahan bisnisnya sekaligus juga ancaman bagi dirinya.
Tentunya
kita semua berharap, penyakit korupsi ini dapat segera sembuh secara
tuntas. Kita tidak menghendaki esok atau lusa ada orang lain yang
berucap: “TURUT BERDUKA CITA, TELAH BERPULANG KE RAHMATULLAH SEBUAH
NEGERI YANG BERNAMA INDONESIA”, MENINGGAL DISEBABKAN OLEH PENYAKIT
KORUPSI YANG TAK TEROBATI.
- See more at: http://www.artikel-keren.com/view/519fef86f7b73031db00131e#sthash.suTgLNk4.dpuf
Korupsi di Indonesia Ibarat Kanker Ganas
Perilaku
korupsi di jajaran birokrasi pemerintahan saat ini tergolong sangat
parah. Jika diibaratkan penyakit dalam tubuh manusia, tak ubahnya
seperti penyakit kanker ganas yang akar-akarnya sudah menjalar ke
seluruh bagian tubuh. Meski belum sampai kepada ajal, penderitaan akibat
dari penyakit ini sungguh amat menyakitkan.
Saat ini
kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang memilukan, sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung dari penyakit ini. Jumlah orang
miskin di Indonesia masih tergolong tinggi, ribuan orang terpaksa harus
antri untuk menerima Bantuan Langsung Tunai. Banyak orang harus
berduyun-duyun untuk menerima zakat, yang besarnya tidak seberapa. Di
Jakarta ditemukan sekelompok orang yang terpaksa memakan daging dan
makanan lainnya yang diambil dari tumpukan sampah. Banjir terjadi
dimana-mana, karena hasil hutannya dikorupsi secara besar-besaran. Angka
Indeks Pengembangan Sumber Daya Manusia masih sangat memprihatinkan,
karena dana pendidikan juga tidak luput dari keganasan serangan penyakit
ini. Ketidakadilan dalam hukum masih dirasakan di berbagai belahan
wilayah hukum kita, karena para penegak hukumnya sangat rentan terhadap
serangan penyakit ini. Tentunya masih banyak lagi
penderitaan-penderitaan lainnya. Penyakit ini telah menyerang tubuh
mulai dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Di bagian kepala, kita
telah menyaksikan jenis penyakit yang menyengsarakan rakyat ini,
sebagaimana diperagakan oleh oknum anggota DPR, oknum Menteri, oknum
Kejaksaan Agung, oknum Bank Indonesia, oknum Mabes POLRI, dan oknum KPU.
Di bagian tubuh tengah atau sebut saja bagian dada dan perut, kita juga
telah menyaksikan oknum Gubernur dan beberapa pejabat lainnya di
tingkat provinsi. Sementara di bagian kaki, ada beberapa Bupati,
sejumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan sejumlah pejabat lainnya yang
berada di wilayah bagian kaki, termasuk mereka yang berada di bagian
telapak kaki.
Sebagian dari mereka, ada yang sudah
jelas-jelas dinyatakan terkena penyakit dan sedang menjalani pengobatan
di beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan sebagian lagi ada yang masih
dalam taraf dugaan (suspected) dan sedang menjalani proses diagnosis.
Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk siap-siap
menjalani pengobatan pula.
Kanker ganas yang
menyerang bagian kepala biasanya jauh lebih berbahaya, karena di sana
terdapat otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali aktivitas
kehidupan Begitu juga dengan penyakit korupsi, korupsi pada bagian
kepala, kerugian yang diderita negara bisa mencapai milyaran bahkan
trilyunan rupiah. Sementara korupsi di tingkat telapak kaki mungkin
hanya bernilai recehan, tetapi ibarat penyakit kanker, meski berada di
bagian telapak kaki dan bersifat recehan, jika dibiarkan tetap saja akan
membahayakan dan merugikan. Kebijakan Otonomi Daerah, yang semula
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat bawah (grass root),
malah disinyalir telah semakin mendorong tumbuh suburnya korupsi di
bagian kaki ini. Bahkan tingkat bahayanya pun hampir sudah bisa
menandingi penyakit korupsi di bagian kepala.
Begitu
parahnya penyakit korupsi di Indonesia, ternyata tidak hanya terjadi
pada saat berada di dalam negeri atau kampung halaman sendiri, ketika
berada di luar negeri sekalipun, penyakit ini masih terbawa-bawa,
seperti apa yang dilakukan oleh oknum Duta Besar dan Konsulat Jenderal..
Memang sudah sangat keterlaluan cara-cara korupsi yang dilakukan anak
bangsa ini, jangan-jangan suatu saat ketika sedang dijerumuskan ke dalam
neraka jahanam pun, masih ada orang Indonesia yang nekad berbuat
korupsi. Akibat penyakit korupsi yang sudah sangat akut dan kronis ini,
maka tidak mengherankan jika saat ini Indonesia dinyatakan sebagai lima
besar negara terkorup di dunia. Sungguh menjadi ironis, ketika bangsa
lain sedang berusaha membangun negaranya untuk dapat menjadi negara
SUPER POWER yang disegani dan dihormati oleh bangsa lainnya, yang
terjadi di Indonesia malah ramai-ramai orang berkorupsi membentuk negara
SUPER CORRUPT.
Untuk menyembuhkan penyakit korupsi
yang demikian parah ini, akhirnya datanglah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran KPK dapat
diibaratkan sebagai Dokter Spesialis Korupsi dan sebagaimana layaknya
seorang Dokter Spesialis, kemampuan dan komitmennya pasti lebih unggul.
Peralatan dan metode yang digunakan pun tidak lagi menggunakan cara-cara
konvensional, dan hasilnya boleh dikatakan tidak terlalu mengecewakan,
setidaknya bisa mengurangi beban penderitaan sang pasien. Beberapa kasus
yang telah disebutkan di atas, diantaranya merupakan hasil diagnosis
dan kerja keras dari KPK, sang Dokter Spesialis Korupsi ini.
Mungkin
karena usianya relatif masih muda, langkah-langkah yang diambil sang
Dokter Spesialis Korupsi ini pun tampaknya belum bisa menjangkau seluruh
bagian tubuh, baru bagian-bagian tubuh tertentu saja. Andaikan Dokter
Spesialis Korupsi ini terus bergerak melakukan kiprahnya secara
konsisten, maka hampir bisa dipastikan ke depannya akan semakin banyak
ditemukan bagian-bagian tubuh yang terjangkiti penyakit, baik yang
berada di bagian kepala, perut, maupun telapak kaki, dan orang-orang
yang perlu dirawat pun akan semakin bertambah.
Seharusnya
pekerjaan mendiagnosis penyakit korupsi ini dilakukan oleh lembaga
Kejaksaan dan Kepolisian, namun kedua lembaga penegakan hukum ini
tampaknya sedang dirundung penyakit yang sama, bahkan diduga kondisinya
jauh lebih parah. Tidak sedikit kasus korupsi yang ditangani kedua
lembaga tersebut, bukannya menjadi sembuh tapi malah menjadi semakin
parah, karena bentuk dan metode pengobatan yang digunakannya menyimpang
dari prosedur seharusnya alias memberantas korupsi dengan cara korupsi
lagi ! Bagi oknum jaksa atau polisi yang sudah terserang penyakit ini,
kehadiran KPK mungkin akan dianggap sebagai kompetitor yang telah
merebut lahan bisnisnya sekaligus juga ancaman bagi dirinya.
Tentunya
kita semua berharap, penyakit korupsi ini dapat segera sembuh secara
tuntas. Kita tidak menghendaki esok atau lusa ada orang lain yang
berucap: “TURUT BERDUKA CITA, TELAH BERPULANG KE RAHMATULLAH SEBUAH
NEGERI YANG BERNAMA INDONESIA”, MENINGGAL DISEBABKAN OLEH PENYAKIT
KORUPSI YANG TAK TEROBATI.
- See more at: http://www.artikel-keren.com/view/519fef86f7b73031db00131e#sthash.suTgLNk4.dpuf
Korupsi di Indonesia Ibarat Kanker Ganas
Perilaku
korupsi di jajaran birokrasi pemerintahan saat ini tergolong sangat
parah. Jika diibaratkan penyakit dalam tubuh manusia, tak ubahnya
seperti penyakit kanker ganas yang akar-akarnya sudah menjalar ke
seluruh bagian tubuh. Meski belum sampai kepada ajal, penderitaan akibat
dari penyakit ini sungguh amat menyakitkan.
Saat ini
kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang memilukan, sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung dari penyakit ini. Jumlah orang
miskin di Indonesia masih tergolong tinggi, ribuan orang terpaksa harus
antri untuk menerima Bantuan Langsung Tunai. Banyak orang harus
berduyun-duyun untuk menerima zakat, yang besarnya tidak seberapa. Di
Jakarta ditemukan sekelompok orang yang terpaksa memakan daging dan
makanan lainnya yang diambil dari tumpukan sampah. Banjir terjadi
dimana-mana, karena hasil hutannya dikorupsi secara besar-besaran. Angka
Indeks Pengembangan Sumber Daya Manusia masih sangat memprihatinkan,
karena dana pendidikan juga tidak luput dari keganasan serangan penyakit
ini. Ketidakadilan dalam hukum masih dirasakan di berbagai belahan
wilayah hukum kita, karena para penegak hukumnya sangat rentan terhadap
serangan penyakit ini. Tentunya masih banyak lagi
penderitaan-penderitaan lainnya. Penyakit ini telah menyerang tubuh
mulai dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Di bagian kepala, kita
telah menyaksikan jenis penyakit yang menyengsarakan rakyat ini,
sebagaimana diperagakan oleh oknum anggota DPR, oknum Menteri, oknum
Kejaksaan Agung, oknum Bank Indonesia, oknum Mabes POLRI, dan oknum KPU.
Di bagian tubuh tengah atau sebut saja bagian dada dan perut, kita juga
telah menyaksikan oknum Gubernur dan beberapa pejabat lainnya di
tingkat provinsi. Sementara di bagian kaki, ada beberapa Bupati,
sejumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan sejumlah pejabat lainnya yang
berada di wilayah bagian kaki, termasuk mereka yang berada di bagian
telapak kaki.
Sebagian dari mereka, ada yang sudah
jelas-jelas dinyatakan terkena penyakit dan sedang menjalani pengobatan
di beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan sebagian lagi ada yang masih
dalam taraf dugaan (suspected) dan sedang menjalani proses diagnosis.
Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk siap-siap
menjalani pengobatan pula.
Kanker ganas yang
menyerang bagian kepala biasanya jauh lebih berbahaya, karena di sana
terdapat otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali aktivitas
kehidupan Begitu juga dengan penyakit korupsi, korupsi pada bagian
kepala, kerugian yang diderita negara bisa mencapai milyaran bahkan
trilyunan rupiah. Sementara korupsi di tingkat telapak kaki mungkin
hanya bernilai recehan, tetapi ibarat penyakit kanker, meski berada di
bagian telapak kaki dan bersifat recehan, jika dibiarkan tetap saja akan
membahayakan dan merugikan. Kebijakan Otonomi Daerah, yang semula
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat bawah (grass root),
malah disinyalir telah semakin mendorong tumbuh suburnya korupsi di
bagian kaki ini. Bahkan tingkat bahayanya pun hampir sudah bisa
menandingi penyakit korupsi di bagian kepala.
Begitu
parahnya penyakit korupsi di Indonesia, ternyata tidak hanya terjadi
pada saat berada di dalam negeri atau kampung halaman sendiri, ketika
berada di luar negeri sekalipun, penyakit ini masih terbawa-bawa,
seperti apa yang dilakukan oleh oknum Duta Besar dan Konsulat Jenderal..
Memang sudah sangat keterlaluan cara-cara korupsi yang dilakukan anak
bangsa ini, jangan-jangan suatu saat ketika sedang dijerumuskan ke dalam
neraka jahanam pun, masih ada orang Indonesia yang nekad berbuat
korupsi. Akibat penyakit korupsi yang sudah sangat akut dan kronis ini,
maka tidak mengherankan jika saat ini Indonesia dinyatakan sebagai lima
besar negara terkorup di dunia. Sungguh menjadi ironis, ketika bangsa
lain sedang berusaha membangun negaranya untuk dapat menjadi negara
SUPER POWER yang disegani dan dihormati oleh bangsa lainnya, yang
terjadi di Indonesia malah ramai-ramai orang berkorupsi membentuk negara
SUPER CORRUPT.
Untuk menyembuhkan penyakit korupsi
yang demikian parah ini, akhirnya datanglah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran KPK dapat
diibaratkan sebagai Dokter Spesialis Korupsi dan sebagaimana layaknya
seorang Dokter Spesialis, kemampuan dan komitmennya pasti lebih unggul.
Peralatan dan metode yang digunakan pun tidak lagi menggunakan cara-cara
konvensional, dan hasilnya boleh dikatakan tidak terlalu mengecewakan,
setidaknya bisa mengurangi beban penderitaan sang pasien. Beberapa kasus
yang telah disebutkan di atas, diantaranya merupakan hasil diagnosis
dan kerja keras dari KPK, sang Dokter Spesialis Korupsi ini.
Mungkin
karena usianya relatif masih muda, langkah-langkah yang diambil sang
Dokter Spesialis Korupsi ini pun tampaknya belum bisa menjangkau seluruh
bagian tubuh, baru bagian-bagian tubuh tertentu saja. Andaikan Dokter
Spesialis Korupsi ini terus bergerak melakukan kiprahnya secara
konsisten, maka hampir bisa dipastikan ke depannya akan semakin banyak
ditemukan bagian-bagian tubuh yang terjangkiti penyakit, baik yang
berada di bagian kepala, perut, maupun telapak kaki, dan orang-orang
yang perlu dirawat pun akan semakin bertambah.
Seharusnya
pekerjaan mendiagnosis penyakit korupsi ini dilakukan oleh lembaga
Kejaksaan dan Kepolisian, namun kedua lembaga penegakan hukum ini
tampaknya sedang dirundung penyakit yang sama, bahkan diduga kondisinya
jauh lebih parah. Tidak sedikit kasus korupsi yang ditangani kedua
lembaga tersebut, bukannya menjadi sembuh tapi malah menjadi semakin
parah, karena bentuk dan metode pengobatan yang digunakannya menyimpang
dari prosedur seharusnya alias memberantas korupsi dengan cara korupsi
lagi ! Bagi oknum jaksa atau polisi yang sudah terserang penyakit ini,
kehadiran KPK mungkin akan dianggap sebagai kompetitor yang telah
merebut lahan bisnisnya sekaligus juga ancaman bagi dirinya.
Tentunya
kita semua berharap, penyakit korupsi ini dapat segera sembuh secara
tuntas. Kita tidak menghendaki esok atau lusa ada orang lain yang
berucap: “TURUT BERDUKA CITA, TELAH BERPULANG KE RAHMATULLAH SEBUAH
NEGERI YANG BERNAMA INDONESIA”, MENINGGAL DISEBABKAN OLEH PENYAKIT
KORUPSI YANG TAK TEROBATI.
- See more at: http://www.artikel-keren.com/view/519fef86f7b73031db00131e#sthash.suTgLNk4.dpuf
Korupsi di Indonesia Ibarat Kanker Ganas
Perilaku
korupsi di jajaran birokrasi pemerintahan saat ini tergolong sangat
parah. Jika diibaratkan penyakit dalam tubuh manusia, tak ubahnya
seperti penyakit kanker ganas yang akar-akarnya sudah menjalar ke
seluruh bagian tubuh. Meski belum sampai kepada ajal, penderitaan akibat
dari penyakit ini sungguh amat menyakitkan.
Saat ini
kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang memilukan, sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung dari penyakit ini. Jumlah orang
miskin di Indonesia masih tergolong tinggi, ribuan orang terpaksa harus
antri untuk menerima Bantuan Langsung Tunai. Banyak orang harus
berduyun-duyun untuk menerima zakat, yang besarnya tidak seberapa. Di
Jakarta ditemukan sekelompok orang yang terpaksa memakan daging dan
makanan lainnya yang diambil dari tumpukan sampah. Banjir terjadi
dimana-mana, karena hasil hutannya dikorupsi secara besar-besaran. Angka
Indeks Pengembangan Sumber Daya Manusia masih sangat memprihatinkan,
karena dana pendidikan juga tidak luput dari keganasan serangan penyakit
ini. Ketidakadilan dalam hukum masih dirasakan di berbagai belahan
wilayah hukum kita, karena para penegak hukumnya sangat rentan terhadap
serangan penyakit ini. Tentunya masih banyak lagi
penderitaan-penderitaan lainnya. Penyakit ini telah menyerang tubuh
mulai dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Di bagian kepala, kita
telah menyaksikan jenis penyakit yang menyengsarakan rakyat ini,
sebagaimana diperagakan oleh oknum anggota DPR, oknum Menteri, oknum
Kejaksaan Agung, oknum Bank Indonesia, oknum Mabes POLRI, dan oknum KPU.
Di bagian tubuh tengah atau sebut saja bagian dada dan perut, kita juga
telah menyaksikan oknum Gubernur dan beberapa pejabat lainnya di
tingkat provinsi. Sementara di bagian kaki, ada beberapa Bupati,
sejumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan sejumlah pejabat lainnya yang
berada di wilayah bagian kaki, termasuk mereka yang berada di bagian
telapak kaki.
Sebagian dari mereka, ada yang sudah
jelas-jelas dinyatakan terkena penyakit dan sedang menjalani pengobatan
di beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan sebagian lagi ada yang masih
dalam taraf dugaan (suspected) dan sedang menjalani proses diagnosis.
Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk siap-siap
menjalani pengobatan pula.
Kanker ganas yang
menyerang bagian kepala biasanya jauh lebih berbahaya, karena di sana
terdapat otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali aktivitas
kehidupan Begitu juga dengan penyakit korupsi, korupsi pada bagian
kepala, kerugian yang diderita negara bisa mencapai milyaran bahkan
trilyunan rupiah. Sementara korupsi di tingkat telapak kaki mungkin
hanya bernilai recehan, tetapi ibarat penyakit kanker, meski berada di
bagian telapak kaki dan bersifat recehan, jika dibiarkan tetap saja akan
membahayakan dan merugikan. Kebijakan Otonomi Daerah, yang semula
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat bawah (grass root),
malah disinyalir telah semakin mendorong tumbuh suburnya korupsi di
bagian kaki ini. Bahkan tingkat bahayanya pun hampir sudah bisa
menandingi penyakit korupsi di bagian kepala.
Begitu
parahnya penyakit korupsi di Indonesia, ternyata tidak hanya terjadi
pada saat berada di dalam negeri atau kampung halaman sendiri, ketika
berada di luar negeri sekalipun, penyakit ini masih terbawa-bawa,
seperti apa yang dilakukan oleh oknum Duta Besar dan Konsulat Jenderal..
Memang sudah sangat keterlaluan cara-cara korupsi yang dilakukan anak
bangsa ini, jangan-jangan suatu saat ketika sedang dijerumuskan ke dalam
neraka jahanam pun, masih ada orang Indonesia yang nekad berbuat
korupsi. Akibat penyakit korupsi yang sudah sangat akut dan kronis ini,
maka tidak mengherankan jika saat ini Indonesia dinyatakan sebagai lima
besar negara terkorup di dunia. Sungguh menjadi ironis, ketika bangsa
lain sedang berusaha membangun negaranya untuk dapat menjadi negara
SUPER POWER yang disegani dan dihormati oleh bangsa lainnya, yang
terjadi di Indonesia malah ramai-ramai orang berkorupsi membentuk negara
SUPER CORRUPT.
Untuk menyembuhkan penyakit korupsi
yang demikian parah ini, akhirnya datanglah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran KPK dapat
diibaratkan sebagai Dokter Spesialis Korupsi dan sebagaimana layaknya
seorang Dokter Spesialis, kemampuan dan komitmennya pasti lebih unggul.
Peralatan dan metode yang digunakan pun tidak lagi menggunakan cara-cara
konvensional, dan hasilnya boleh dikatakan tidak terlalu mengecewakan,
setidaknya bisa mengurangi beban penderitaan sang pasien. Beberapa kasus
yang telah disebutkan di atas, diantaranya merupakan hasil diagnosis
dan kerja keras dari KPK, sang Dokter Spesialis Korupsi ini.
Mungkin
karena usianya relatif masih muda, langkah-langkah yang diambil sang
Dokter Spesialis Korupsi ini pun tampaknya belum bisa menjangkau seluruh
bagian tubuh, baru bagian-bagian tubuh tertentu saja. Andaikan Dokter
Spesialis Korupsi ini terus bergerak melakukan kiprahnya secara
konsisten, maka hampir bisa dipastikan ke depannya akan semakin banyak
ditemukan bagian-bagian tubuh yang terjangkiti penyakit, baik yang
berada di bagian kepala, perut, maupun telapak kaki, dan orang-orang
yang perlu dirawat pun akan semakin bertambah.
Seharusnya
pekerjaan mendiagnosis penyakit korupsi ini dilakukan oleh lembaga
Kejaksaan dan Kepolisian, namun kedua lembaga penegakan hukum ini
tampaknya sedang dirundung penyakit yang sama, bahkan diduga kondisinya
jauh lebih parah. Tidak sedikit kasus korupsi yang ditangani kedua
lembaga tersebut, bukannya menjadi sembuh tapi malah menjadi semakin
parah, karena bentuk dan metode pengobatan yang digunakannya menyimpang
dari prosedur seharusnya alias memberantas korupsi dengan cara korupsi
lagi ! Bagi oknum jaksa atau polisi yang sudah terserang penyakit ini,
kehadiran KPK mungkin akan dianggap sebagai kompetitor yang telah
merebut lahan bisnisnya sekaligus juga ancaman bagi dirinya.
Tentunya
kita semua berharap, penyakit korupsi ini dapat segera sembuh secara
tuntas. Kita tidak menghendaki esok atau lusa ada orang lain yang
berucap: “TURUT BERDUKA CITA, TELAH BERPULANG KE RAHMATULLAH SEBUAH
NEGERI YANG BERNAMA INDONESIA”, MENINGGAL DISEBABKAN OLEH PENYAKIT
KORUPSI YANG TAK TEROBATI.
- See more at: http://www.artikel-keren.com/view/519fef86f7b73031db00131e#sthash.suTgLNk4.dpuf
Korupsi di Indonesia Ibarat Kanker Ganas
Perilaku
korupsi di jajaran birokrasi pemerintahan saat ini tergolong sangat
parah. Jika diibaratkan penyakit dalam tubuh manusia, tak ubahnya
seperti penyakit kanker ganas yang akar-akarnya sudah menjalar ke
seluruh bagian tubuh. Meski belum sampai kepada ajal, penderitaan akibat
dari penyakit ini sungguh amat menyakitkan.
Saat ini
kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang memilukan, sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung dari penyakit ini. Jumlah orang
miskin di Indonesia masih tergolong tinggi, ribuan orang terpaksa harus
antri untuk menerima Bantuan Langsung Tunai. Banyak orang harus
berduyun-duyun untuk menerima zakat, yang besarnya tidak seberapa. Di
Jakarta ditemukan sekelompok orang yang terpaksa memakan daging dan
makanan lainnya yang diambil dari tumpukan sampah. Banjir terjadi
dimana-mana, karena hasil hutannya dikorupsi secara besar-besaran. Angka
Indeks Pengembangan Sumber Daya Manusia masih sangat memprihatinkan,
karena dana pendidikan juga tidak luput dari keganasan serangan penyakit
ini. Ketidakadilan dalam hukum masih dirasakan di berbagai belahan
wilayah hukum kita, karena para penegak hukumnya sangat rentan terhadap
serangan penyakit ini. Tentunya masih banyak lagi
penderitaan-penderitaan lainnya. Penyakit ini telah menyerang tubuh
mulai dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Di bagian kepala, kita
telah menyaksikan jenis penyakit yang menyengsarakan rakyat ini,
sebagaimana diperagakan oleh oknum anggota DPR, oknum Menteri, oknum
Kejaksaan Agung, oknum Bank Indonesia, oknum Mabes POLRI, dan oknum KPU.
Di bagian tubuh tengah atau sebut saja bagian dada dan perut, kita juga
telah menyaksikan oknum Gubernur dan beberapa pejabat lainnya di
tingkat provinsi. Sementara di bagian kaki, ada beberapa Bupati,
sejumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan sejumlah pejabat lainnya yang
berada di wilayah bagian kaki, termasuk mereka yang berada di bagian
telapak kaki.
Sebagian dari mereka, ada yang sudah
jelas-jelas dinyatakan terkena penyakit dan sedang menjalani pengobatan
di beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan sebagian lagi ada yang masih
dalam taraf dugaan (suspected) dan sedang menjalani proses diagnosis.
Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk siap-siap
menjalani pengobatan pula.
Kanker ganas yang
menyerang bagian kepala biasanya jauh lebih berbahaya, karena di sana
terdapat otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali aktivitas
kehidupan Begitu juga dengan penyakit korupsi, korupsi pada bagian
kepala, kerugian yang diderita negara bisa mencapai milyaran bahkan
trilyunan rupiah. Sementara korupsi di tingkat telapak kaki mungkin
hanya bernilai recehan, tetapi ibarat penyakit kanker, meski berada di
bagian telapak kaki dan bersifat recehan, jika dibiarkan tetap saja akan
membahayakan dan merugikan. Kebijakan Otonomi Daerah, yang semula
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat bawah (grass root),
malah disinyalir telah semakin mendorong tumbuh suburnya korupsi di
bagian kaki ini. Bahkan tingkat bahayanya pun hampir sudah bisa
menandingi penyakit korupsi di bagian kepala.
Begitu
parahnya penyakit korupsi di Indonesia, ternyata tidak hanya terjadi
pada saat berada di dalam negeri atau kampung halaman sendiri, ketika
berada di luar negeri sekalipun, penyakit ini masih terbawa-bawa,
seperti apa yang dilakukan oleh oknum Duta Besar dan Konsulat Jenderal..
Memang sudah sangat keterlaluan cara-cara korupsi yang dilakukan anak
bangsa ini, jangan-jangan suatu saat ketika sedang dijerumuskan ke dalam
neraka jahanam pun, masih ada orang Indonesia yang nekad berbuat
korupsi. Akibat penyakit korupsi yang sudah sangat akut dan kronis ini,
maka tidak mengherankan jika saat ini Indonesia dinyatakan sebagai lima
besar negara terkorup di dunia. Sungguh menjadi ironis, ketika bangsa
lain sedang berusaha membangun negaranya untuk dapat menjadi negara
SUPER POWER yang disegani dan dihormati oleh bangsa lainnya, yang
terjadi di Indonesia malah ramai-ramai orang berkorupsi membentuk negara
SUPER CORRUPT.
Untuk menyembuhkan penyakit korupsi
yang demikian parah ini, akhirnya datanglah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran KPK dapat
diibaratkan sebagai Dokter Spesialis Korupsi dan sebagaimana layaknya
seorang Dokter Spesialis, kemampuan dan komitmennya pasti lebih unggul.
Peralatan dan metode yang digunakan pun tidak lagi menggunakan cara-cara
konvensional, dan hasilnya boleh dikatakan tidak terlalu mengecewakan,
setidaknya bisa mengurangi beban penderitaan sang pasien. Beberapa kasus
yang telah disebutkan di atas, diantaranya merupakan hasil diagnosis
dan kerja keras dari KPK, sang Dokter Spesialis Korupsi ini.
Mungkin
karena usianya relatif masih muda, langkah-langkah yang diambil sang
Dokter Spesialis Korupsi ini pun tampaknya belum bisa menjangkau seluruh
bagian tubuh, baru bagian-bagian tubuh tertentu saja. Andaikan Dokter
Spesialis Korupsi ini terus bergerak melakukan kiprahnya secara
konsisten, maka hampir bisa dipastikan ke depannya akan semakin banyak
ditemukan bagian-bagian tubuh yang terjangkiti penyakit, baik yang
berada di bagian kepala, perut, maupun telapak kaki, dan orang-orang
yang perlu dirawat pun akan semakin bertambah.
Seharusnya
pekerjaan mendiagnosis penyakit korupsi ini dilakukan oleh lembaga
Kejaksaan dan Kepolisian, namun kedua lembaga penegakan hukum ini
tampaknya sedang dirundung penyakit yang sama, bahkan diduga kondisinya
jauh lebih parah. Tidak sedikit kasus korupsi yang ditangani kedua
lembaga tersebut, bukannya menjadi sembuh tapi malah menjadi semakin
parah, karena bentuk dan metode pengobatan yang digunakannya menyimpang
dari prosedur seharusnya alias memberantas korupsi dengan cara korupsi
lagi ! Bagi oknum jaksa atau polisi yang sudah terserang penyakit ini,
kehadiran KPK mungkin akan dianggap sebagai kompetitor yang telah
merebut lahan bisnisnya sekaligus juga ancaman bagi dirinya.
Tentunya
kita semua berharap, penyakit korupsi ini dapat segera sembuh secara
tuntas. Kita tidak menghendaki esok atau lusa ada orang lain yang
berucap: “TURUT BERDUKA CITA, TELAH BERPULANG KE RAHMATULLAH SEBUAH
NEGERI YANG BERNAMA INDONESIA”, MENINGGAL DISEBABKAN OLEH PENYAKIT
KORUPSI YANG TAK TEROBATI.
- See more at: http://www.artikel-keren.com/view/519fef86f7b73031db00131e#sthash.suTgLNk4.dpuf